Jumat, 23 November 2007

Menggapai Singgasana Sang Dewi


Menulis pengalaman yang sudah terjadi beberapa tahun yang lalu, tentu akan mempunyai makna dan interpretasi yang berbeda jika dibandingkan dengan kita menulis di kala itu, hal itu tentu lahir dari sebuah dialektika yang terus bergerak lurus, sehingga tidak mengherankan jika suata saat ketika kita sedang duduk dengan kopi dan rokok, serta angan yang melambung ke masa silam, kita sering ketawa geli, mengingat apa yang dulu kita lakukan. Pengalaman yang ingin aku tulis saat ini adalah, pengalaman ketika aku melakukan pendakian ke gunung Argopura yang merupakan salah satu dari lima gunung yang aku daki di Jawa Timur. Pendakian lima gunung itu merupakan salah satu program kerja dari Mapala, organisasi tempat aku bergiat dulu, Walalupun tidak sehebat pendakian yang dilakukan oleh almarhum Norman Edwin dengan Tujuh Puncak benuanya, tapi setidaknya aku pernah merasakan menjadi orang yang yang dipercaya untuk mengemban sebuah tugas dan tanggung jawab.

Tanggal hari itu adalah 6 juni 2003, aku, Tempe, Patul, dan Bandot berangkat menuju Surabaya dengan menumpang kereta api ekonomi Sri Tanjung. Tempe, Patul dan Bandot adalah kawan aku di Mapala, bagi kami yang biasa bergiat di dunia pencinta alam, memang memiliki nama lapangan masing-masing, dan bahkan nama-nama itu kadang lebih akrab dari pada nama asli kami, nama-nama itu punya makna dan sejarah masing-masing, biasannya nama itu di dapat pada masa-masa pendidikan dasar yang merupakan syarat wajib untuk bisa menjadi anggota Mapala, Tempe misalnya, ia mendapatkan nama itu dikarenakan pada hari yang ke-6 ia ingin mengundurkan diri dari pendidikan karena ngga’ kuat, padahal pendidikan tinggal 2 hari lagi, sehingga oleh senior di kasi nama Tempe, sebuah symbol dari mental yang lemah (tempe), nama Patul merupakan singkatan dari Patah Tulang, di berikan oleh senior karena kawan aku yang satu ini mengalami patah tulang ketika mengikuti pendidikan, sedangkan Bandot, anak termuda di tim, di beri nama Bandot, karena selama pendidikan rambutnya mirip sekali dengan Bandot tua.

Kereta berangkat tepat pukul 07:05 WIB, penumpang sepi, sehingga kami leluasa untuk tidur-tiduran, becanda, main kartu dan tentu saja merokok dan ngopi. Pukul 14:00, kereta tiba di stasiun Wonokromo (Surabaya), dari stasiun Wonokromo kami melanjutkan perjalanan menggunakan bis kota menuju terminal Bungur, di Bungur, kami istirahat sejenak di samping mushola, dan belanja logistic yang masih kurang. Aku cukup akrab dengan terminal ini, dan aku punya kebiasaan yang acap kali aku lakukan jika telah tiba di terminal terbesar di Jawa Timur ini, yaitu makan nasi pecel, nasi pecel di terminal ini menurut aku sangatlah enak, disajikan dengan daun pisang yang tentunya akan sangat menggugah selera.

Pukul 15:00 kami naik bis jurusan Probolinggo, dan selanjutnya menuju Pajarakan, tepat pukul pukul 19:00 kami tiba di Pajarakan. Berhubung hari sudah malam, sedang base camp Argopura masih satu kali perjalanan lagi, terpaksa malam ini kami menginap di Pajarakan. Pilihan pertama untuk menginap adalah kantor polisi, ya..kantor polisi, tempat paling nyaman dan aman. Dengan sedikit basa-basi, kami minta diperbolehkan untuk menginap di situ, untungnya pak polisinya baik, kami di beri satu ruangan untuk menginap. Setelah makan malam, kami langsung tidur, karena besok kami harus bangun pagi-pagi untuk menuju Bermi base camp gunung Argopura yang masih harus ditempuh dengan menumpang colt.

Pagi menjelang, tanpa mandi dan sarapan, kami sudah bersiap untuk melanjutkan perjalanan, dan ternyata kami sudah di tunggu oleh colt, rupanya pak polisi yang baik itu sudah menyetop colt buat kami tumpangi. Dengan ucapan terima kasih, kami pamit, pak polisi yang baik itu hanya tersenyum dan berpesan supaya hati-hati, kami hanya tersenyum dan menggangguk.

Aroma Argopura sudah mulai terasa, udara dan kabut pagi menyambut kedatangan kami di Bermi, base camp Argopura. Selain jalur Bermi masih ada lagi jalur untuk mendaki Argopura, yaitu Besuki. Setelah melapor dan mengisi buku tamu di kantor polisi Bermi, kami bergerak menuju pos pendakian, saat berjalan itulah tiba-tiba datang seorang pemuda dengan jaket gunung dan ikat kepala, dia menyapa, kami pun bersalaman ala pencinta alam, kami bilang mau naik, ia meminta kami menunggu sebentar, tidak berselang lama, ia kembali dengan membawa kertas, ternyata ia memberi kami peta topofgrafi gunung Argopura, ach, baik sekali pemuda ini pikir kami, dengan mengucapkan terima kasih, dan jabat tangan yang erat kami pamit, dan kata “hati-hati” kembali kami dengar, kami tersenyum, kaki kami melangkah, melangkah menyusuri jalan berbatu, melewati rumah-rumah penduduk. Setengah jam jalan kaki, kami tiba di pos pendakian, pos pendakian ini berupa bangunan semi permanent, terbuat dari semen dan kayu, cukup nyaman untuk istirahat. Alat masak segera kami keluarkan, dan mulai menyiapkan sarapan dan kopi. Puas makan dan mengisi air, kami mulai melakukan pendakian. Tujuan kami adalah Taman Hidup, menurut data yang kami dapat, jarak tempuh dari pos pendakian ke Taman Hidup adalah 4 jam.

Medan ke Taman Hidup, cukup bervariasi, satu jam pertama jalan yang kami lalui cukup landai dengan pemandangan kebun kopi yang terhampar sepanjang mata memandang. Lewat dari kebun kopi, kami mulai memasuki hutan pinus, jalanya mulai sedikit menanjak namun masih terkesan landai, hutan di Argopura cukup lebat, masih terdapat pohon-pohon besar dan kicau burung masih sempat kami temui sepanjang jalan. Tidak terasa sudah 4 jam kami berjalan, tapi kok, ngga’ nyampe-nyampe ke Taman Hidup, di tengah hutan kami bertemu dengan penduduk yang baru saja pulang mancing dari Taman Hidup, kami bertanya, kira-kira Taman Hidup masih jauh ngga’ ya? Kata mereka dari tempat kami sekarang, Taman Hidup masih 2 jam lagi, ach..!! kami cuma senyum kecut, masih jauh dong…!!. Dengan tekad dan semangat tinggi kami melanjutkan perjalanan, kami mulai mengatur langkah dan nafas, kami ngga’ ingin ngebut, kami ngga’ mau cidera, empat gunung masih menunggu, Argopura harus lewat dulu. Akhirnya dengan semangat dan tenaga yang yang terkuras kami sampai juga di Taman Hidup.

Taman Hidup adalah lokasi camp yang mempunyai danau dan dermaga, cukup indah, keberadaannya lebih mirip cermin raksasa di tengah hutan, bayangan awan, pohon dan langit yang biru terpantul laksana lukisan yang dilukis oleh tangan sang maestro, tapi sayang, airnya keruh, sehingga kami harus menyaring terlebih dahulu sebelum menggunakanya buat masak, di danau nampak beberapa penduduk sedang memancing. Tenda kami dirikan, kami memutuskan bermalam di sini, kami bawa dua tenda, satu buat barang-barang, satunya buat tidur. Selesai masak, kami tidur.

Selasa 8 juni, kabut pagi menyelimuti danau, embun masih menempel di dedaunan dan udara pagi terasa menusuk sampai ke tulang, masih dengan muka kusut dan mata sembab kami mulai menyiapkan kopi dan sarapan, selesai sarapan dan packing, kami mulai meneruskan perjalanan menuju Aengkenik, medannya cukup landai, kami melewati daerah yang di beri nama hutan lumut, disebut demikian karena pohon-pohon di hutan ini sebagian besar di selimuti lumut, menandakan hutan ini cukup lebat sehingga sinar matahari sulit menembus ke dalam. Lewat dari hutan lumut, kami memasuki hutan kering, kami sebut hutan kering, karena daerah ini memang sangat kering, pohon-pohonnya merangas, dan tentu saja jalanya penuh dengan debu yang mengepul, medan di hutan kering cukup beragam, kadang menanjak kadang landai, lewat dari hutan kering, kondisi kami mulai ngedrop, rasa lapar mulai menggangu, akhirnya kami memutuskan untuk makan siang di perbatasan hutan kering dan hutan pinus. Selesai makan kondisi kami cukup prima, carier kami sandang, kaki kami ayun, dengan langkah yang mantap, hutan pinus mulai kami jelajahi, lewat dari hutan pinus, daerah dengan semak yang lebat mulai menanti, tinggi semak di daerah ini melebihi tingi badan kami, sehingga kadang kami tidak bisa melihat jalur di depan, di sinilah kami mulai merasa habis, jalanya panjang dan berkelok, kadang kami harus berjalan merangkak untuk melewati terowongan yang tercipta dari semak yang lebat. Menjelang sore kami tiba juga di Aengkenik. Di Aengkenik terdapat sungai kecil yang berair jernih, sebuah tempat yang sangat nyaman untuk bermalam.

Rabu 9 juni, setelah sarapan, kaki yang sudah mulai berat akibat dari perjalanan kemarin perlahan namun pasti kami ayun, kami melangkah, melangkah menuju tempat selanjutnya, yaitu Cisentor. Jalan yang kami lalui cukup landai dengan panorama padang ilalang (savanna) dengan kombinasi pohon hutan yang rindang, perjalanan kali ini terasa lain, hal ini dikarenakan, sepanjang jalan, monyet-monyet dengan suara yang berisik terus mengikuti jalan kami. Kami sedikit kesal dengan data yang kami dapat, ternyata jarak dari Aengkenik dengan Cisentor cukup dekat hanya butuh waktu satu jam. Tau kayak gini mending kemarin kami langsung aja ke Cisentor. Cisentor merupakan daerah tempat ngecamp dengan sungai yang sangat jernih, Cisentor juga merupakan daerah pertemuan dua jalur pendakian yaitu dari arah Bermi dan Besuki, di sini kami bertemu dengan tiga orang pendaki dari Solo, dari mereka kami mendapat informasi terbaru mengenai jalur menuju puncak. Jarak tempuh dari Cisentor ke puncak kurang lebih 3 jam. Kami memutuskan untuk muncak hari itu juga. Carier semua kami tinggal dengan cara disembunyikan di balik semak-semak. Dengan membawa daypack masing-masing tepat jam 09:55 kami mulai menyusuri jalan setapak menuju puncak. Jalur dari Cisentor ke puncak cukup landai dengan panorama padang ilalang dan tumbuhan perdu. Sepanjang perjalanan kami banyak menemukan burung yang kicaunya tidak pernah berhenti menghibur kami yang sedang berusaha menggapai puncak. Pukul 12:32 kami sampai juga di puncak, puncak pertama yang kami tuju adalah puncak Rengganis yang merupakan puncak tertinggi di gunung Argopura, selain puncak Rengganis masih terdapat satu puncak lagi yaitu puncak Argopura. Puncak Rengganis hanya berupa puing-puing dari bangunan kuno yang menurut legenda adalah istana sang dewi Rengganis. Dewi Rengganis sendiri menurut legenda, merupakan selir dari Prabu Brawijaya IV yang mengasingkan diri ke hutan, bersama para pengikut setianya. Kami punya kebiasaan yang selalu kami lakukan saat menggapai setiap puncak gunung, yaitu minum Coca Cola dan menghisap rokok Marlboro, “perayaan puncak” begitu kami biasa menyebut ritual itu, sebenarnya ritual itu akan terasa nikmat jika dilakukan saat menatap sunrise, tapi sayang, kali ini kami muncak tengah hari. Setelah berpoto dengan bendera merah putih dan panji Mapala, kami turun ke pelawangan untuk selanjutnya menuju puncak Argopura. Hanya butuh waktu kurang dari satu jam untuk sampai ke puncak Argopura, di puncak Argopura hanya terdapat batu yang di susun, yang menandadakan itu puncak. Pohon dan semak masih terdapat di puncak ini. Di puncak Argopura, Patul, punya hajatan kecil, yaitu memotong rambutnya yang gondrong, kami bertiga bergiliran memotong rambut Patul yang baunya minta ampun itu, dan hasilnya dapat ditebak, rambut Patul berantakan, kami mencukur dengan asal.

Tepat pukul 13:45 kami turun ke Cisentor, di Cisentor kami makan siang sebentar untuk seterusnya melanjutkan perjalanan menuju Aengkenik, sampai di Aengkenik hari masih siang, kami memutuskan untuk langsung turun ke Taman Hidup, kali ini kami jalan dengan sedikit berlari, kami berharap dapat sampai di Taman Hidup tepat sebelum hari menjelang malam, tapi sayang, baru masuk ke daerah semak yang lebat, malam sudah menguntit, tidak mau bermalam di semak, senter kami keluarkan, dengan di pandu cahaya senter, kami mulai berjalan, fisik yang sudah ngedrop memaksa kami untuk cepat-cepat bermalam, tepat di tengah hutan pinus, akhirnya tenda kami dirikan. Kami ternyata terlalu bernafsu untuk sampai ke Taman Hidup, balasanya adalah Bandot kena demam, aku menduga Bandot terlalu capek, untung paginya Bandot sudah baikan lagi.

Kamis 10 juni, pukul 08:00 kami mulai turun ke Taman Hidup, ada yang membuat kami khawatir dalam perjalanan ke Taman Hidup ini, yaitu persedian air kami tinggal satu botol aqua tanggung, di perjalanan nanti kami tentu akan banyak minum, kalau tidak ingin dehidrasi. Niat sudah bulat, tekad telah satu, kita turun!. Dan benar baru berapa menit berjalan, air di botol sudah separuh, apalagi pas melewati hutan kering yang panas dan berdebu, akhirnya aku mulai mengatur jatah air bagi siapa saja yang mau minum. Kami berjalan, dengan kerongkongan yang mencekik, sampai mata kami berbinar, danau taman hidup sudah terlihat, air yang tinggal separuh langsung kami habiskan berempat, dengan senyum yang lebar kami berempat mulai jalan dengan setengah berlari, disinilah petaka datang, danau yang nampak didepan mata, ternyata masih sangat jauh, tenggorokan kami mulai kering lagi, kami lemas, sialan batin kami!!. Semakin dekat danau, semakin kering dan lemas badan ini, kira-kira 50 meter menjelang danau, tanpa ada yang memberikan aba-aba, kami berempat berlomba menuju danau, carier kami lepas, kaki kami seret, lomba lari 50 meter segera di mulai, tanpa menyaring terlebih dahulu, mulut kami berempat langung minum dari danau.ach…seger!!..puas!!!….saat itu waktu menunjukan angka 11:00.

Pukul 13:50 kami mulai turun ke base camp, jalan kami lalui dengan banyak bercanda dan tertawa, tanpa kami sadari kami sudah tiba di tepi hutan, saat itulah kami mulai bingung, kayaknya ini bukan jalan yang kami lalui 3 hari yang lalu, kami mulai berunding dan menerka-nerka, kami salah jalan, aku baru ingat, tadi, kami sempat menemukan persimpangan, dan kami memilih jalan yang sebelah kiri, saat itulah aku teringat pada peta yang diberikan oleh pemuda yang menggunakan jaket gunung dan ikat kepala itu, ya pemuda itu. Kompas, protector dan peta aku keluarkan, dan mulai menentukan arah mata angin, arah mata angin ketemu, saatnya melakuan ploting, di sini lah mulai muncul kendala, kabut mulai turun, sehingga jarak pandang mulai terhalang, aku tidak dapat melakukan orientasi, kalau sudah seperti ini, maka langkah selanjutnya dalam ilmu navigasi adalah menggunakan metode konturing, suatu metode menentukan posisi dalam peta dengan memperhatikan dan melihat kontur yang terdapat di peta dengan panduan tanda medan yang ada sudah dikenal terlebih dahulu. Seandainya ada GPS, kayaknya aktivitas orientasi, ploting, dan konturing tidak perlu kami lakukan, sayang, saat itu kami belum punya GPS. Dengan sedikit ragu, aku putuskan untuk berjalan menuju kearah barat, dengan harapan jalur utama segera ketemu, setidaknya ada 3 punggungan yang kami lalui sebelum akhirnya ketemu dengan jalur utama, semua lega. Bayang wajah pemuda dengan jaket dan ikat kepala itu terus melintas di benak kami, kalau bertemu ingin sekali kami mengucapkan terima kasih yang amat sangat padanya. Akhirnya kami sampai juga di Bermi. Setelah selesai melapor, kami mulai mencari warung terdekat, kami ingin makan enak sore ini, pilihanya adalah gule kambing dan sate. Nikmatnya bukan kepalang. Sebuah perayaan yang sempurna untuk sebuah petualangan selama 4 hari di hutan dewi Rengganis.

Argopura…kami merindukan aroma pohon dan kabut dinginmu. Suatu saat, kami akan menjengukmu dewi, semoga!

Kenapa Orang Lombok Jadi Maling?


Populasi orang Lombok di Bali memang tergolong banyak, walaupun tidak ada angka pasti yang menyebutkan berapa banyak orang Lombok yang tinggal dan bekerja di Bali, namun dapat disaksikan keberadaan orang Lombok di Bali memang tidak sedikit. Mereka tersebar di beberapa daerah yang merupakan kantong ekonomi di Bali, mulai dari Gianyar, Denpasar dan Badung, kebanyakan dari mereka bekerja di sector informal, seperti pedagang kaki lima, penjual makanan dan minuman, dan juga buruh proyek, yang disebut terakhir merupakan bidang pekerjaan yang paling banyak dilakoni oleh orang Lombok. Di samping jenis pekerjaan yang telah disebut tadi, tidak sedikit dari orang Lombok di Bali yang memilih jenis pekerjaan “beda”, mereka banyak terlibat dalam underground economy (kriminalitas, pelacuran, narkoba, perjudian), hal ini dapat dilihat dari maraknya tindakan kriminalitas yang dilakukan oleh orang Lombok, yang mana hal itu selalu mendapat liputan khusus dari media local di Bali baik elektronik maupun cetak, dan khusunya harian Denpost, atas dasar itulah harian Denpost merasa perlu untuk melakukan investigasi terhadap perilaku dan budaya orang Lombok, khususnya yang terlibat tindak kriminalitas, yang bahkan pada bulan January lalu memuat secara berseri tulisan mengenai sepak terjang penjahat asal Lombok, tulisan itu terdiri dari empat seri yang dimuat dari tanggal 10/1/07 s/d 14/1/07. Isi tulisan itu antara lain mengungkap berbagai informasi tentang sepak terjang penjahat asal Lombok, baik dari sisi kehidupan pribadi sehari-hari, latar belakang keluarga, modus operasi, jaringan komplotan serta pandangan orang Lombok itu sendiri terhadap prilaku “maling”. Dalam banyak hal, tulisan itu menyisakan beberapa pertanyaan mendasar dan penting, benarkah prilaku “maling” merupakan budaya bagi sebagian masyarakat desa di Lombok ataukah hanya merupakan ujung dan akibat dari banyaknya pengangguran dan kemiskinan di Lombok?, kalau perilaku “maling” memang budaya bagi orang Lombok, lantas dimanakah peran agama di Lombok dalam membentuk nilai moral pemeluknya?, yang mana telah diketahui bersama bahwasanya Lombok terkenal dengan nuansa religiusnya, yang konon bahkan mendapat sebutan pulau seribu masjid, atau jangan-jangan selama ini orientasi keberagamaan kita sebagai orang Lombok yang “salah” dan perlu diubah?

Penganguran, Kemiskinan dan Kriminalitas; Sebuah Mata Rantai
Oscar Lewis, seorang antropolog asal Amerika, memaknai kemiskinan sebagai ketidaksanggupan seseorang atau kelompok orang untuk dapat memenuhi dan memuaskan keperluan-keperluan dasar materialnya. Pendeknya menurut Lewis, kemiskinan adalah ketidakcukupan seseorang untuk bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokoknya, seperti sandang, pangan, dan papan untuk kelangsungan hidup dan meningkatknya posisi social-ekonominya. Sumber-sumber daya material yang dimiliki atau dikuasainya betul-betul sangat terbatas, sekedar mampu digunakan untuk mempertahankan kehidupan fisiknya, sehingga sangat sulit untuk meningkatkan kesejahteraanya.

Seperti halnya banyak daerah di Indonesia, Lombok termasuk daerah yang sebagian besar penduduknya masih ber kategori miskin, wajah kemiskinan dapat dilihat dimana-mana, bahkan yang paling heboh adalah ditemukanya kasus busung lapar di Lombok pada tahun 2004 lalu. Profesi sebagian besar masyarakatnya adalah petani, dimana dari tahun ke tahun tingkat kesejahteraan petani di Lombok jarang sekali meningkat. Hal ini dapat dimaklumi karena sebagian besar petani di Lombok adalah petani penggarap, kesejahteraan sebagai petani hanya dapat dinikmati oleh pemilik lahan dan tuan tanah. Tidak memadainya jumlah lapangan kerja dengan jumlah pencari kerja serta diperparah dengan rendahnya pertumbuhan ekonomi di Lombok, telah membuat angka pengangguran dari hari ke hari semakin meningkat baik itu pengangguran terbuka maupun pengangguran terselubung dan hasilnya adalah kemiskinan di Lombok semakin tidak terkendali. Rendahnya kualitas SDM serta sempitnya lapangan keja telah memaksa orang Lombok untuk tetap survive dengan berbagai cara dan profesi, mulai dari menjadi TKI, buruh kasar, sampai dengan menjadi “maling”. Prilaku “maling” telah menjadi cerita sendiri pada kehidupan sehari-hari orang Lombok, saya sendiri sewaktu kecil pernah menyaksikan bagaimana seorang maling dihakimi sampai tewas oleh penduduk desa karena kedapatan mencuri hewan ternak. Prilaku “maling” banyak ditemui di masyarakat Lombok terutama yang mendiami daerah-daerah kering dan kurang produktif. Cerita tentang adanya kampong maling (walaupun tidak semua penduduknya menjadi maling) di Lombok memang bukanlah isapan jempol belaka. Keberadaan pamswakarsa beberapa tahun terakhir ini, cukup efektif untuk mempersempit ruang gerak para maling yang dari hari ke hari aksinya sudah mulai meresahkan, namun hal itu tidaklah membuat serta merta para maling menyerah, tidak bisa beraksi di Lombok, para maling kini mengalihkan daerah operasinya ke pulau Bali, yang secara geografis tidak terlalu jauh dari pulau Lombok.

Pengangguran, kemiskinan dan kriminalitas merupakan mata rantai lingkaran setan yang sulit untuk diputus. Pengangguran dan kemiskinan merupakan dua sejoli sehidup semati. Kemiskinan adalah anak kandung yang dilahirkannya. Ketimpangan dan kecemburuan social adalah dampak yang ditimbulkannya. Jika persentasi jumlah angkatan kerja yang menganggur terus membubung tinggi, dapat dipastikan pertumbuhan ekonominya akan berjalan lamban, bahkan dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi. Akibatnya tindakan kriminalitas sangat mudah terjadi. Kemiskinan itu sendiri kian disadari akibat dampak semakin meningkatnya angka pengangguran. Memang, antara kriminalitas, kemiskinan dan pengangguran sangat terkait erat tak dapat dipisahkan.

Untuk menekan angka kriminalitas, maka solusi paling ampuh adalah bagaimana mengentaskan rakyat miskin dan menekan angka pengangguran semaksimal mungkin. Selama pengangguran dan kemiskinan tak dapat ditekan, maka kriminalitas akan sulit dapat dihapuskan.

Agama dan Perubahan Sosial

Identitas masyarakat “agamis” yang melekat pada masyarakat Lombok, ternyata tidak selalu mendapatkan pengabsahannya. Ini bisa kita lihat dalam ruang lingkup kehidupan social orang Lombok sendiri. Ada kesenjangan yang menganga antara doktrin keagamaan yang ideal dan faktor empirik yang dapat disaksikan di lapangan. Umumnya, agama yang hadir di muka bumi selalu hadir dengan mengusung seperangkat ajaran yang selalu berkonotasi pada nilai-nilai kebajikan. Karena itu, prilaku yang mengarah kepada tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai kebaikan akan selalu dianggap hal yang kontradiksi dengan nilai-nilai agama itu sendiri. Dalam hal ini adalah adanya prilaku “maling” itu sendiri sangat bertentangan dengan ajaran agama yang mereka peluk.

Kata kunci kritik para pemikir ateisme seperti Feurbach, Freud dan Nietsche terhadap agama adalah alienasi. Kritik para pemikir tersebut, pada umumnya menyebutkan bahwa kebertuhanan (baca;agama) telah mengasingkan manusia dari kemanusianya. Lebih jauh dijelaskan bahwa agama hanya dipandang sebagai sebuah ritual dan symbol belaka. Selama ini, elit keagamaan hanya sibuk dengan persoala ritual-transendental demi mencapai surganya Tuhan. Sehingga persoalan-persoalan social yang ada di masyarakat seperti pengangguran, marginalisasi dan kemiskinan terkadang luput dari perhatian.

Mestinya, pengangguran, marginalisasi dan kemiskinan dijadikan prioritas bagi elit keagamaan untuk melakukan perubahan dengan semangat iman dalam bentuk amal. Hal ini sesuai dengan anjuran Tuhan untuk selalu berlomba-lomba dalam kebaikan. Sejatinya, keshalehan ini diwujudkan dalam inteaksi dan system social dalam kehidupan sehari-hari. Peran elit keagamaan harus mampu membawa semangat agama untuk melakukan perubahan social yang nyata dan berarti. Dan sudah selayaknya peran masjid tidak hanya dimaknai sebagai tempat ibadah semata, namun keberadaan masjid haruslah mampu menjadi pusat peradaban dan kesejahteraan masyarakat. Menurut catatan statistic, desa di Indonesia berjumlah 800.000-an, sedangkan jumlah kemiskinan di Indonesia mencapai 80 juta jiwa (Jawa Pos.2/2/07), kalau masjid mau diberdayakan untuk program pengentasan kemiskinan, setiap masjid akan kebagian seribu orang miskin. Sebuah potensi besar yang jarang terpikirkan, demikian halnya dengan keberadaan masjid di pulau Lombok yang disetiap desa dapat dipastikan mempunyai satu buah masjid besar yang bahkan sejak dahulu pulau Lombok telah terkenal dengan sebutan pulau seribu masjid.

Jika agama tidak mampu menjadi sumber perubahan, maka agama hanya akan menjadi sesuatu yang formal tanpa memiliki makna yang signifikan dalam kehidupan manusia, bahkan lebih tragis, secara lambut laut agama akan ditinggalkan oleh penganutnya.

Dan sebagai pentutup, tentunya ini akan menjadi pekerjaan rumah bagi para calon Gubernur (cagub) dan calon wakil gubernur (cawagub) yang akan bertarung di Pilkada NTB tahun 2008 nanti. Para cagub dan cawagub hendaknya dan harus bisa melihat persoalan kemiskinan yang ada di Lombok (NTB) dengan lebih serius, program pengentasan kemiskinan nantinya tidak sekedar basa-basi, namun lebih kepada tindakan yang nyata dan konkrit. Adanya pemikiran yang progresif dari cagub dan cawagub dalam melihat dan melakukan perubahan orientasi terhadap pemahaman keberagamaan masyarakat Lombok (NTB) yang tidak hanya melulu mementingkan ritual-transedental dengan Tuhan, namun bagaimana melihat agama sebagai sebuah solusi untuk melakukan perubahan social tentu sangat diharapkan. Sehingga dimasa yang akan dating nanti berita-berita dan foto-foto orang Lombok yang termuat dalam Koran criminal tidak lagi terdengar dan terpampang. Semoga!

Kamis, 22 November 2007

Sejarah Lombok (1)


(Tulisan ini diambil dari Wikipedia )

Merekonstruksi sejarah kerajaan Selaparang menjadi sebuah bangunan kesejarahan yang utuh dan menyeluruh agaknya memerlukan pengkajian yang mendalam. Permasalahan utamanya terletak pada ketersediaan sumber-sumber sejarah yang layak dan memadai. Sumber-sumber yang ada sekarang, seperti Babad dan lain-lain memerlukan pemilihan dan pemilahan dengan kriteria yang valid dan reliable. Apa yang tertuang dalam tulisan sederhana ini mungkin masih mengundang perdebatan. Karena itu sejauh terdapat perbedaan-perbedaan dalam pengungkapannya akan dimuat sebagai gambaran yang masih harus ditelusuri sebagal bahan pengkajian lebih lanjut.

Kerajaan Selaparang merupakan salah satu kerajaan tertua yang pernah tumbuh dan berkembang di pulau Lombok, bahkan disebut-sebut sebagai embrio yang kemudian melahirkan raja-raja Lombok masa lalu. Posisi ini selanjutnya menempatkan Kerajaan Selaparang sebagai icon penting kesejarahan pulau ini. Terbukti penamaan pulau ini juga disebut sebagai bumi Selaparang atau dalam istilah lokalnya sebagai Gumi Selaparang.

Buku Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat (2002) mencatat setidak-tidaknya tiga pendapat tentang asal muasal kerajaan Selaparang. Pertama, disebutkan bahwa kerajaan ini merupakan proses kelanjutan dari kerajaan tertua di pulau Lombok, yaitu Kerajaan Desa Lae’ yang diperkirakan berkedudukan di Kecamatan Sambalia, Lombok Timur sekarang. Dalam perkembanganya masyarakat kerajaan ini berpindah dan membangun sebuah kerajaan baru, yaitu kerajaan Pamatan di Kecamatan Aikmel dan diduga berada di Desa Sembalum sekarang. Dan ketika Gunung Rinjani meletus, penduduk kerajaan ini terpencar-pencar yang menandai berakhirnya kerajaan. Betara Indra kemudian mendirikan kerjaan baru bernama Kerajaan Suwung, yang terletak di sebelah utara Perigi sekarang. Setelah berakhirnya kerajaan yang disebut terakhir, barulah kemudian muncul Kerajaan Lombok atau Kerajaan Selaparang.

Kedua, disebutkan bahwa setelah Kerajaan Lombok dihancurkan oleh tentara Majapahit, Raden Maspahit melarikan diri ke dalam hutan dan sekembalinya tentara itu, Raden Maspahit membangun kerajaan yang baru bernama Batu Parang yang kemudian dikenal dengan nama Kerajaan Selaparang.

Ketiga, disebutkan bahwa pada abad XII, terdapat satu kerajaan yang dikenal dengan nama kerajaan Perigi yang dibangun oleh sekelompok transmigran dari Jawa di bawah pimpinan Prabu Inopati dan sejak waktu itu pulau Lombok dikenal dengan sebutan Pulau Perigi. Ketika kerajaan Majapahit mengirimkan ekspedisinya ke Pulau Bali pada tahun 1343 yang diteruskan ke Pulau Lombok dan Dompu pada tahun 1357 dibawah pemerintahan Mpu Nala, ekspedisi ini menaklukkan Selaparang (Perigi?) dan Dompu.

Agak sulit membuat kompromi penafsiran untuk menemukan benang merah ketiga deskripsi di atas. Minimnya sumber-sumber sejarah menjadi alasan yang tak terelakkan. Menurut Lalu Djelanga (2004), catatan sejarah kerajaan-kerajaan di Lombok yang lebih berarti dimulai dari masuknya Majapahit melalui espedisi di bawah Mpu Nala pada tahun 1343, sebagai pelaksanaan Sumpah Palapa Maha Patih Gajah Mada yang kemudian diteruskan dengan inspeksi Gajah Mada sendiri pada tahun 1352.

Ekspedisi ini, lanjut Djelanga, meninggalkan jejak kerajaan Gelgel di Bali. Sedangkan di Lombok, dalam perkembanganya meninggalkan jejak berupa empat kerajaan utama saling bersaudara, yaitu Kerajaan Bayan di barat, Kerajaan Selaparang di Timur, Kerajaan Langko di tengah, dan Kerajaan Pejanggik di selatan. Selain keempat kerajaan tersebut, terdapat kerajaan-kerajaan kecil, seperti Parwa dan Sokong serta beberapa desa kecil, seperti Pujut, Tempit, Kedaro, Batu Dendeng, Kuripan, dan Kentawang. Seluruh kerajaan dan desa ini selanjutnya menjadi wilayah yang merdeka, setelah kerajaan Majapahit runtuh.

Di antara kerajaan dan desa itu yang paling terkemuka dan paling terkenal adalah Kerajaan Lombok yang berpusat di Labuhan Lombok. Disebutkan kota Lombok terletak di teluk Lombok yang sangat indah dan mempunyai sumber air tawar yang banyak. Keadaan ini menjadikannya banyak dikunjungi oleh pedagang-pedagang dari Palembang, Banten, Gresik, dann Sulawesi.

Belakangan, ketika Kerajaan ini dipimpin oleh Prabu Rangkesari, Pangeran Prapen, putera Sunan Ratu Giri datang mengislamkan kerajaan Lombok. Dalam Babad Lombok disebutkan, pengislaman ini merupakan upaya dari Raden Paku atau Sunan Ratu Giri dari Gresik, Surabaya yang memerintahkan raja-raja Jawa Timur dan Palembang untuk menyebarkan Islam ke berbagai wilayah di Nusantara.

Susuhunan Ratu Giri memerintahkan keyakinan baru disebarkan ke seluruh pelosok. Dilembu Manku Rat dikirim bersama bala tentara ke Banjarmasin, Datu Bandan di kirim ke Makasar, Tidore, Seram dan Galeier, dan Putra Susuhunan, Pangeran Prapen ke Bali, Lombok dan Sumbawa. Prapen pertama kali berlayar ke Lombok, dimana dengan kekuatan senjata ia memaksa orang untuk memeluk agama Islam. Setelah menyelesaikan tugasnya, Prapen berlayar ke Sumbawa dan Bima. Namun selama ketiadaanya, karena kaum perempuan tetap menganut keyakinan Pagan, masyarakat Lombok kembali kepada faham pagan. Setelah kemenangannya di Sumbawa dan Bima, Prapen kembali, dan dengan dibantu oleh Raden Sumuliya dan Raden Salut, ia mengatur gerakan dakwah baru yang kali ini mencapai kesuksesan. Sebagian masyarakat berlari ke gunung-gunung, sebagian lainya ditaklukkan lalu masuk Islam dan sebagian lainya hanya ditaklukkan. Prapen meninggalkan Raden Sumuliya dan Raden Salut untuk memelihara agama Islam, dan ia sendiri bergerak ke Bali, di mana ia memulai negosiasi (tanpa hasil) dengan Dewa Agung Klungkung.

Proses pengislaman oleh Sunan Prapen menuai hasil yang menggembirakan, hingga beberapa tahun kemudian seluruh pulau Lombok memeluk agama Islam, kecuali beberapa tempat yang masih mempertahankan adapt istiadat lama.

Sementara di Kerajaan Lombok, sebuah kebijakan besar dilakukan Prabu Rangesari dengan memindahkan pusat kerajaan ke Desa Selaparang atas usul Patih Banda Yuda dan Patih Singa Yuda. Pemindahan ini dilakukan dengan alasan letak Desa Selaparang lebih strategis dan tidak mudah diserang musuh dibandingkan posisi sebelumnya.

Menurut Fathurrahman Zakaria, dari wilayah pusat kerajaan yang baru ini, panorama Selat Alas yang indah membiru dapat dinikmati dengan latar belakang daratan Pulau Sumbawa dari ujung utara ke selatan dengan sekali sapuan pandangan. Dengan demikian semua gerakan yang mencurigakan di tengah lautan akan segera dapat diketahui. Wilayah ini juga memiliki daerah belakang berupa bukit-bukit persawahan yang dibangun dan ditata rapi bertingkat-tingkat sampai hutan Lemor yang memiliki sumber air melimpah.

Di bawah pimpinan Prabu Rangkesari, Kerajaan Selaparang berkembang menjadi kerajaan yang maju di berbagai bidang. Salah satunya adalah perkembangan kebudayaan yang kemudian banyak melahirkan manusia-manusia sebagai khazanah warisan tradisional masyarakat Lombok hari ini. Dengan mengacu kepada ahli sejarah berkebangsaan Belanda L.C Van den Berg yang menyatakan bahwa, berkembangnya Bahasa Kawi sangat mempengaruhi terbentuknya alam pikiran agraris dan besarnya peranan kaum intelektual dalam rekayasa social politik di Nusantara, Fathurrahman Zakaria (1998) menyebutkan bahwa para intelektual masyarakat Selaparang dan Pejanggik sangat mengetahui Bahasa Kawi. Bahkan kemudian dapat menciptakan sendiri aksara Sasak yang disebut sebagai jejawen. Dengan modal Bahasa Kawi yang dikuasaiya, aksara Sasak dan Bahasa Sasak, maka para pujangganya banyak mengarang, mengubah, mengadaptasi, atau menyalin manusia Jawa kuno ke dalam lontar-lontar Sasak. Lontar-lontar dimaksud, antara lain Kotamgama, Lapel Adam, Menak Berji, Rengganis, dan lain-lain. Bahkan para pujangga juga banyak menyalin dan mengadaptasi ajaran-ajaran sufi para walisongo, seperti lontar-lontar yang berjudul Jatiswara, Lontar Nursada dan Lontar Nurcahya. Bahkan hikayat-hikayat Melayu pun banyak yang disalin dan diadaptasi, seperti Lontar Yusuf, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Sidik Anak Yatim, dan sebagainya.

Dengan mengkaji lontar-lontar tersebut, menurut Fathurrahman Zakaria (1998) kita akan mengetahui prinsip-prinsip dasar yang menjadi pedoman dalam rekayasa social politik dan social budaya kerajaan dan masyarakatnya. Dalam bidang social politik misalnya, Lontar Kotamgama lembar 6 menggariskan sifat dan sikap seorang raja atau pemimpin, yakni Danta, Danti, Kusuma, dan Warsa. Danta artinya gading gajah; apabila dikeluarkan tidak mungkin dimasukin lagi. Kusuma artinya kembang; tidak mungkin kembang itu mekar dua kali. Warsa artinya hujan; apabila telah jatuh ke bumi tidak mungkin naik kembali menjadi awan. Itulah sebabnya seorang raja atau pemimpin hendaknya tidak salah dalam perkataan.

Selain itu, dalam lontar-lontar yang ada, diketahui bahwa istilah dan ungkapan yang syarat dengan ide dan makna telah dipergunakan dalam bidang politik dan hukum, misalnya kata hanut (menggunakan hak dan kewajiban ), tapak (stabil), tindih (bertata krama), rit (tertib), jati (utama), tuhu (sungguh-sungguh), bakti (bakti, setia), atau terpi (teratur). Dalam bidang ekonomi, seperti itiq (hemat), loma (dermawan), kencak (terampil), atau genem (rajin).

Kemajuan Kerajaan Selaparang ini membuat kerajaan Gelgel di Bali merasa tidak senang. Gelgel yang merasa sebagai pewaris Majapahit, melakukan serangan ke Kerajaan Selaparang pada tahun 1520, akan tetapi menemui kegagalan.

Mengambil pelajaran dari serangan yang gagal pada 1520, Gelgel dengan cerdik memanfaatkan situasi untuk melakukan infiltrasi dengan mengirimkan rakyatnya membuka pemukiman dan persawahan di bagian selatan sisi barat Lombok yang subur. Bahkan disebutkan, Gelgel menempuh strategi baru dengan mengirim Dankiang Niratha untuk memasukan faham baru berupa sinkretisme Hindu-Islam. Walau tidak lama di Lombok, tetapi ajaran-ajaranya telah dapat mempengaruhi beberapa pemimpin agama Islam yang belum lama memeluk agama Islam. Namun niat Kerajaan Gelgel untuk menaklukkan Kerajaan Selaparang terhenti karena secara internal kerajaan Hindu ini juga mengalami stagnasi dan kelemahan di sana-sini.

Kedatangan VOC Belanda ke Indonesia yang menguasai jalur perdagangan di utara teleh menimbulkan kegusaran Gowa, sehingga Gowa menutup jalur perdagangan ke selatan dengan cara menguasai pulau Sumbawa dan Selaparang. Dan untuk membendung misi kristenisasi menuju barat, maka Gowa juga menduduki Flores Barat dengan membangun Kerajaan Manggarai.

Ekspansi Gowa ini menyebutkan Gelgel yang mulai bangkit tidak senang. Gowa dihadapkan pada posisi dilematis, mereka khawatir Belanda memanfaatkan Gelgel. Maka tercapai kesepakatan dengan Gelgel melalui perjanjian Saganing pada tahun 1624, yang isinya antara lain Gelgel tidak akan bekerja sama dengan Belanda dan Gowa akan melepaskan perlindunganya atas Selaparang, yang dianggap halaman belakang Gelgel.

Akan tetapi terjadi perubahan sikap sepeninggal Dalem Sagining yang digantikan oleh Dalem Pemayun Anom. Terjadi polarisasi yang semakin jelas, yakni Gowa menjalin kerja sama dengan Mataram di Jawa dalam rangka menghadapi Belanda. Sebaliknya Belanda berhasil mendekati Gelgel, sehingga pada tahun 1640, Gowa masuk kembali ke Lombok. Bahkan pada tahun 1648, salah seorang Pangeran Selaparang dari Trah Pejanggik bernama Mas Pemayan dengan gelar Pemban Mas Aji Komala, diangkat sebagai raja muda, semacam gubernur mewakili Gowa, berkedudukan di bagian barat pulau Sumbawa.

Akhirnya perang antara Gowa dengan Belanda tidak terelakan. Gowa melakukan perlawanan keras terutama dibawah pimpinan Sultan Hasanudin yang dijuluki Ayam Jantan dari Timur. Sejarah mencatat Gowa harus menerima perjanjian Bungaya pada tahun 1667. Bungaya adalah sebuah wilayah yang terletak disekitar pusat kerajaan Gelgel di Klungkung yang menandai eratnya hubungan Gelgel-Belanda. Konon Gelgel berusaha memafaatkan situasi dengan mengirimkan ekspedisi langsung ke pusat pemerintahan Selaparang pada tahaun 1668-1669, tetapi ekspedisi tersebut gagal.

Sekalipun Selaparang unggul melawan kekuatan tetangganya, yaitu Kerajaan Gelgel, namun pada saat yang bersamaan, suatu kekuatan baru dari arah barat telah muncul pula. Embrio kekuatan ini telah ada sejak permulaan abad ke-15 dengan datangnya para imigran petani liar dari Karang Asem (Bali) secara bergelombang, dan mendirikan koloni di kawasan Kotamadya Mataram sekarang ini. Kekuatan itu telah menjelma sebagai sebuah kerajaan kecil, yaitu Kerajaan Pagutan dan Pagesangan, yang berdiri pada tahun 1622.

Namun bahaya yang dinilai menjadi ancaman utama dan akan tetap muncul secara tiba-tiba yaitu kekuatan asing, Belanda, yang sewaktu-waktu akan melakukan ekspansi. Kekuatan dari tetangga dekat diabaikan, karena Gelgel yang demikian kuat mampu dipatahkan. Sebab itu sebelum kerajaan yang berdiri di wilayah kekuasaanya di bagian barat ini berdiri, hanya diantipasi dengan menempatkan pasukan kecil di bawah pimpinan Patinglaga Deneq Wirabangsa.

Di balik itu, memang ada factor-faktor lain terutama masalah perbatasan antara Selaparang dan Pejanggik yang tidak kunjung selesai. Hal ini menyebabkan adanya saling mengharapkan peran yang lebih di antara kedua kerajaan serumpun ini. Atau saling lempar tanggung jawab. Dalam kecamuk peperangan dan upaya menghadapi masalah kekuatan yang baru tumbuh dari arah barat itu, maka secara tiba-tiab saja, tokoh penting di lingkungan pusat kerajaan, yaitu patih kerajaan sendiri yang bernama, Raden Arya Getas, ditengarai berselisih pendapat dengan rajanya. Raden Arya Banjar Getas akhirnya meninggalkan Selaparang dan hijrah mengabdikan diri di Kerajaan Pejanggik, yang dulu (Kerajaan Pejanggik-red) berada di daerah Kec.Pejanggik cukup jauh dari desa Labulia yang berada di Kecamatan Jonggat.

Atas prakarsanya sendiri, Raden Arya Banjar Getas dapat menyeret Pejanggik bergabung dengan sebuah Ekspedisi Tentara Kerajaan Karang Asem yang sudah mendarat menyusul di Lombok Barat. Semula, informasi awal yang diperoleh, maksud kedatangan ekspedisi itu akan menyerang Kerajaan Pejanggik.

Namun dalam kenyataan sejarah, ekpedisi itu telah menhancurkan Kerajaan Selaparang. Dan Kerajaan Selaparang dapat ditaklukkan hampir tanpa perlawanan, karena sudah dalam keadaan sangat lemah. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1672. pusat kerajaan hancur; rata dengan tanah, dan raja beserta seluruh keluarganya mati terbunuh.

Selaparang jatuh hanya tiga tahun setelah menghadapi Belanda. Empat belas tahun kemudian, pada tahun 1686 Kerajaan Pejanggik dibumi hanguskan oleh Kerajaan Mataram Karang Asem. Akibat kekalahan Pejanggik, maka Kerajaan Mataram mulai berdaulat menjadi penguasa tunggal di Pulau Lombok setelah sebelumnya juga meluluh lantakkan kerajaan-kerajaan kecil lainya.

Minggu, 11 November 2007

Pencinta Alam dan Pendaki Gunung


Tingginya Gunung

Gelapnya Goa

Lebatnya Hutan

Terjalnya Tebing

Derasnya Arus Sungai

Kami Datang Bukan Cari Mati

Tapi Jati Diri


Seorang kawan dalam email yang dikirim ke aku, bercerita atau lebih tepatnya bertanya, kenapa sech, tiap kali diajak naik gunung, aku tidak bisa nolak, padahal, naik gunung itu kan capek, bawa beban berat,kena hujan,makan seadanya dan berbagai rasa yang ngga’ enak ketika naik gunung, aku cuma nyengir, abis aku ngga’ bisa ngejawab. Susah ngejelasainya, dan pertanyaan seperti itu hanya bisa diajukan oleh orang yang sudah kena “sihir” gunung. Aku juga sering merasa bila panggilan naik gunung sudah datang, sulit rasanya untuk menolak dan mengabaikan panggilan ini, biasanya aku akan cepat-cepat berkemas, beli logistic, packing dan mulai mendaki, kadang kalau ngga’ ada teman, pendakian sering aku lakukan sendiri. Namun, pertanyaan kawan aku itu, masih saja menggangu lamunanku, aku ingin membalas email itu dengan mengatakan bahwa naik gunung itu seperti ini,itu dan begini, tapi rasanya aku tidak akan puas dengan jawaban aku sendiri, karena tentu saja pengalaman naik gunung adalah pengalaman yang subyektik, masing-masing pendaki punya kesan dan pengalaman masing-masing. Tapi untuk tidak ingin dikatakan diam, biarlah aku mencoba menjawab pertanyaan itu dengan apa yang pernah aku baca, aku lakukan dan aku rasakan. Ini mungkin hanya sebuah renungan bagi siapa saja yang mengaku dirinya Pendaki dan Pencinta Alam…ach..berat banget se..he..he..

Ada baiknya kita mulai dari pertanyaan awal dan mendasar, sejak kapan orang naik gunung, dan untuk apa orang naik gunung? Dalam hal ini aku ngga’ mau menjawab dengan jawabanya George Leigh Mallory, seorang pendaki legendaris, ketika ditanya kenapa sering sekali naik gunung, ia biasa menjawab dengan kalimat ’Because it’s there’, jawaban yang asal, batinku, tapi sejujurnya dulu aku sering mengutip kalimat itu tiap kali ditanya oleh orang, ketika aku sudah mulai bawa carier,,

Mengutip tulisannya bang Oktaf, seorang anggota Korpala UNHAS, seorang antropolog yang bernama Gilbert Murray bercerita, dulu, di zaman Yunani kuno, orang Yunani selalu saja terpukau oleh suatu tempat yang tinggi di daerah tempat tinggal mereka, tempat itu bernama Gunung Olympus tempat tinggalnya Dewa Zeus, yang dalam pandangan mereka tak ada lagi yang lebih tinggi daripadanya. Berawal dari rasa penasaran itulah, orang Yunani mulai mencoba mendaki Gunung Olympus, mereka berusaha menguak rahasia ada apa dia atas sana? Kemudian muncullah proses selanjutnya yang oleh Murray disebut sebagai ”Penakluk Olympia” Istilah ini tidak menunjuk pada suatu pendakian fisik semata yang bertujuan menaklukan Gunung Oympus, namun lebih dari pada itu, pendakian itu merupakan pendakian spritual untuk menaklukan diri sendiri dan proses pertempuran untuk mengatasi rasa takut. Bagi mereka yang berhasil mencapai puncak, oleh Dewa Zeus diberikan pengetahuan transendental. Pendakian yang meletihkan fisik dan mental itu, tidak berakhir dengan sia-sia. Kalau boleh menyimpulkan, sebenarnya ada misi suci yang ingin diraih oleh manusia ketika pertama kali naik gunung, mereka ternyata mendaki untuk menaklukkan diri sendiri dan juga untuk mengetahui ada kebenaran apa di atas sana, mereka mendaki untuk kelanggengan moralitas, sekaligus mempertanyakan peradaban kepada Sang Maha Tinggi.

Kita lupakan dulu model pendakian yang dilakukan oleh orang Yunani kuno itu, marilah kita tengok, fenomena dan tingkah laku para pendaki dan pencinta alam saat ini, kita mulai dari kelompok anak muda yang sering naik gunung, menurut yang aku lihat dan perhatikan selama ini, para pendaki bisa dikelompokan dalam tiga kelompok atau tiga kategori, yang pertama adalah ”pendaki pemula”, kedua, ”pendaki beneran”, dan yang ketiga adalah ”bener-bener pendaki”

”pendaki pemula”

Kelompok ini biasanya terdiri dari anak-anak muda yang baru pertama kali naik gunung, dan kalau pun suka naik gunung, jam terbangnya belum seberapa, mereka ini biasanya naik gunung untuk senang-senang dan sekedar melepas penat akan rutinitas yang selama ini mereka jalani, dan biasanya pula mereka mendaki secara berkelompok. Tidak begitu susah menandai kelompok ini, hal ini dapat dililhat dari, tingkah laku, penampilan, perlengkapan dan tekhik mendakinya. Kelompok ini sering kali kelihatan bergerombol, dan penampilan mereka pun kadang-kadang nyentrik, kawan aku seorang pendaki senior, sering kasi komentar tentang penampilan kelompok ini, kawan yang satu ini sering bilang ”wah anak mall, gi main ke gunung” he..he..kawan yang satu ini memang agak sedikit sinis, padahal, berawal dari sinilah generasi-generasi pendaki tangguh tercipta, trus dari perlengkapan, mereka biasanya membawa perlengkapan seadanya, bahkan kadang-kadang aku sering menemukan kelompok ini hanya bawa dua carier, padahal mereka mendaki berlima. Aku menduga, perlengkapan standar seperti tenda, sleeping bag, raincoat, kompor dan alat masak sering dibawa seadanya saja. dari segi teknik, mereka biasanya mendaki tanpa perhitungan, asal jalan, asal hajar, dan biasanya pula tenaga mereka habis sebelum mencapai puncak, kalau pun sampai puncak, pas turunya biasanya mereka lebih sering merangkak, kalau ngga’ jalanya tertatih-tatih, keberhasilan mencapai puncak biasanya di ekpresikan dengan sangat ekpresif, kita tidak usah heran, kalau di puncak kita sering menemukan orang yang mencium tugu puncak dengan khidmat, bahkan aku pernah menemukan seorang pendaki yang membawa keliling tugu puncak ketika dah nyampai puncak, yang lebih mencolok yang dapat dilihat dari kelompok ini adalah sikap mereka yang kadang seanaknya, buang sampah sembarangan, mengores pohon dengan pisau, bahkan yang lebih miris lagi, pohon, tugu puncak sering mereka corat-coret dengan menulis nama atau kelompok mereka. Sikap vandalisme memang sering kita temukan pada kelompok pendaki ini. Sangat disayangkan memang. namun sejatinya itu adalah hal yang wajar, mendaki itu sendiri merupakan simulasi hidup itu sendiri, ketika mulai mendaki kita punya target yang harus kita raih, yaitu puncak, nah, saat meraih puncak inilah, tantangan dan kerja keras diperlukan, jalan terjal,jurang, hutan yang lebat, cuaca yang cepat sekali berubah, angin, badai, dan kadang-kadang hujan. Sehingga sangatlah wajar ketika sampai di puncak kita sering mengekpresikanya dengan cara masing-masing.

”Pendaki beneran

Kelompok ini dapat dengan mudah dikenali dari penampilan dan perpfomance mereka, biasanya kelompok ini berasal dari kelompok pencinta alam dari kalangan mahasiswa yang lazim di sebut Mapala, namun di luar mahasiswa pun, banyak juga kelompok-kelompok pencinta alam yang masuk dalam kategori ini, mereka biasanya adalah orang-orang yang sudah akrab dengan gunung dan mengganggap gunung sebagai tempat bermain, namun tidak semua Mapala dan kelompok pencinta alam bisa masuk dalam kategori ini, banyak juga Mapala dan kelompok pencinta alam yang masih masuk dalam kategori pertama. Kelompok ini, kalau mendaki gunung selalu dengan perlengkapan dan perhitungan yang matang, makanya tidak heran, kelompok ini sering membawa carier yang besar dan tinggi, serta cara packing yang sempurna, sehingga ketika melihat pendaki seperti ini, kesan gagah dan tangguh bisa langsung terbersit dibenak orang yang melihatnya, walaupun kadang dalam kenyataanya tidak selalu demikian, banyak diantara mereka cuma menang perfomance doang, pas di lapangan tidak jarang keok juga. Namun ada satu hal yang membedakan mereka dari kelompok pertama, mereka mempunyai pengetahuan yang cukup tentang ilmu mendaki gunung, hal ini biasa mereka dapatkan dari materi pendidikan yang didapatkan saat masuk menjadi anggota atau dari pengalaman-pengalaman yang didapat dari seringya mendaki gunung, dari segi sikap kelompok ini lebih ”mending” dari kelompok pertama, adanya kesadaran akan kelestarian sudah mulai tertanam, sehingga anjuran seperti” bawa sampahmu turun” sering mereka lakukan.

”bener-bener pendaki”

Kelompok yang terakhir ini, dari segi sikap, penampilan dan pengetahuan gunung lebih dekat dengan kelompok kedua, yang membedakanya adalah, kelompok ini lebih seing memaknai ”apa dan untuk apa mendaki gunung”, mereka mendaki untuk pencarian makna, mencari hakikat menjadi manusia, mencari jawaban-jawaban atas keresahan jiwa, dan yang lebih dalam lagi, kelompok ini mendaki biasanya untuk bisa bekomunikasi dengan Tuhan dan ciptaanNya, puncak bukanlah merupakan semata-semata ”puncak” namun lebih dari pada itu, puncak di maknai sebagai titik tertinggi untuk menggapai makna. Mereka inilah pendaki dan pencinta alam yang berusaha mencari kebeneran.Tidak semua pendaki bisa masuk dalam kategori ini, hanya pendaki-pendaki yang tidak berhenti bertanya dan berkontemplasi dengan apa yang dilihat,didengar dan dirasakan yang bisa masuk dalam kategori ini, oleh karena itu, kita tidak perlu heran dari segi kuantitas jumlah mereka tidaklah terlalu banyak dan parahnya lagi kita susah sekali menandai orang atau kelompok seperti ini, karena dari penampilan, kadang mereka tidak nampak sebagai seorang pendaki, yang lebih berkesan gagah dan tangguh.

Namun, diantara tiga kategori pendaki yang sudah aku sebut diatas, ada benang merah yang dapat diambil dan ini pasti dan pernah dirasakan oleh semua orang yang pernah mendaki gunung, bahwasanya mendaki gunung sejatinya adalah simulasi hidup itu sendiri, ketika mulai mendaki kita punya target yang harus kita raih, yaitu puncak, nah, saat meraih puncak inilah, tantangan dan kerja keras diperlukan, jalan terjal, jurang, hutan yang lebat, cuaca yang cepat sekali berubah, angin, badai, dan kadang-kadang hujan. Sehingga sangatlah wajar ketika sampai di puncak kita sering mengekpresikanya dengan cara masing-masing. Kerja keras selama pendakian ditebus dengan puncak, ”aku puas, ”aku bisa” ”aku berhasil” kita merasa menjadi manusia seutuhnya, jati diri dan ”siapa aku ?” akan tersingkap dan siapapun orangnya pasti tidak akan melupakan momen-momen seperti itu, sehingga ketika ada ajakan untuk naik gunung lagi, rasanya sulit untuk menolak ajakan itu. Setiap gunung punya tantangan dan nuansa sendiri, dan itu yang selalu yang membuat kita penasaran untuk mendaki.

Sekarang marilah kita kembali ke model pendakian yang dilakukan oleh orang Yunani kuno itu, kira-kira masih ada ngga’ ya..model pendakian seperti itu, aku kira kita semua tau jawabanya, model pendakian seperti lebih dekat dengan kelompok ketiga, pendakian yang lebih mencari makna dan kebenaran, dan rasanya , seperti yang sudah aku utarakan, jumlah pendaki seperti ini sangat sedikit, lebih-lebih di saat sekarang ini. Dan biasanya kalau sudah bicara model pendakian seperti ini, aku teringat akan satu nama, Soe Hok Gie, ya..dialah sosok yang paling dekat dengan model pendakian ala Yunani kuno itu...Aku kira!