Jumat, 08 Februari 2008

KE MATARAM MAL YUK..!!!

Orang Lombok pada awal tahun 2000-an di ributkan atau lebih tepatnya di hebohkan dengan keberadaan Mataram Mal (MM), maklum saja di NTB itulah mal satu-satunya. Di awal berdirinya MM banyak cerita geli dan menggelitik yang mengiringi kehadiranya. Seorang kawan pernah bercerita, bahwa ia pernah melihat sekelompok orang di MM yang kalau melihat dari penampilanya mungkin berasal dari sebuah kampung di Lombok, ketika hendak menaiki eskalator, orang-orang ini tidak satupun yang berani menaiki “tangga berjalan” ini, hingga akhhirnya seseorang diantara mereka melepas sandalnya dan menaruhnya di atas eskalator, dan mereka yang melihat sandal itu naik, merasa heran dan takjub, hingga akhirnya sekelompok orang itu bertepuk tangan melihat kejadian tersebut, namun tidak dengan si pemilik sandal yang baru tersadar dengan sandalnya yang sudah naik ke atas sedang ia masih dibawah. Seorang kawan lagi pernah bercerita, kalau di depan MM pernah ia melihat sekelompok orang yang lagi-lagi masih menurut kawan yang bercerita itu, berasal dari kampung, orang-orang itu menggunakan truk untuk berangkat ke mal, penumpangnya kurang lebih 20 orang, jangan bayangkan mereka ke mal untuk datang berbelanja atau makan, ternyata kedatangan mereka hanya untuk melihat “tangga berjalan”. Terlepas apakah cerita ke dua kawan itu hanya sebuah anekdot atau benar-benar kejadian nyata, yang jelas keberadaan mal di Lombok telah memberi warna tersendiri bagi masyarakat Lombok, tidak terkecuali warga Lombok yang tinggal di Mataram yang lebih dikenal sebagai ibu kota provinsi. Warga Mataram kini, telah memiliki tempat baru untuk rekreasi dan berbelanja, bahkan, belakangan pergi ke mal telah menjadi sebuah gaya hidup bagi sebagian orang Lombok terutama anak-anak mudanya. Keberadaan mal telah melahirkan makna baru dalam budaya perkotaan. MM telah menjadi pertanda orang Lombok kini telah menjadi “gaul” dan modern.??

Kemajuan suatu daerah atau kota di Indonesia, meskipun bukan faktor penentu, selalu ditandai dengan keberadaan mal, entah apa indikator orang yang beranggapan demikan. Namun yang jelas mal selalu identik dengan kemajuan dan modren. Mal telah menjadi simbol dan gaya hidup kelompok masyarakat tertentu khususnya kelompok menengah ke atas. Bagi manusia modern kata "mal" sudah melebur dalam kediriannya. "Mal" atau "pusat perbelanjaan ... kini telah naik status menjadi istana impian atau katedral bagi budaya konsumen kontemporer. Mal yang semula adalah tempat hiburan telah disulap menjadi pusat kegiatan manusia. Di dalamnya berkumpullah manusia dengan ragam kebutuhan. Dengan demikian kehadiran mall menjadi "alam baru" manusia. Bisnis perkantoran, pendidikan, kebutuhan keluarga, asuransi, perbankan, hiburan, dan lain sebagainya menjadi lapangan baru. Mall tidak hanya merupakan "ruang publik yang diisi barang-barang dagangan penggugah selera tetapi juga menjadi lokasi perjumpaan manusia yang saling tidak kenal Ringkasnya, inilah dunia baru bagi manusia.modern masa kini.

Namun pernahkah kita sedikit berfikir kritis tentang keberadaan mal? Coba bayangkan sebenarnya apa yang ada di mal, pergi ke mal, mata kita selalu di manjakan dengan tampilan barang-barang yang selalu dan selalu membuat kita terpikat untuk memilikinya. Bahkan di sebagian orang, ia akan rela menabung dengan keras untuk mendapatkan barang yang diidam-idamkanya. Bagi sekelompok orang yang mempunyai status social lebih tinggi mungkin uang tidak masalah, tapi bagaimana dengan kelompok masyarakat yang secara ekonomi pas-pasan, namun selalu bermimpi untuk tampil gaul dan modern, tentu ini akan menjadi masalah. Selanjutnya adalah benarkah kita membeli barang-barang di mal itu karena kebutuhan?? Saya rasa jawabanya tidak juga, seorang kawan saya yang mempunyai hobi ke mal, ketika membeli sesuatu entah itu pakaian atau barang lainya, tidak pernah berpikir apakah ia benar-benar membutuhkan barang itu, namun lebih kepada mengikuti trend dan gaya hidup.Trend dan gaya hidup memang sengaja di buat dan diciptakan oleh tangan siluman kapitalis, di tangan kapitalis barang telah menjadi komoditas. Membeli barang bukan karena fungsinya tetapi lebih kepada gaya hidup. Di sini barang dan benda-benda berperan sebagai pembawa makna-makna sosial tertentu, parahnya lagi, melalui media massa (tv,koran,tabloid dll), film dan musik budaya kapitalis cepat sekali menyebar ke seluruh pelosok dunia, ke pelosok negeri dan ke pelosok kampung. Sistem kapitalis telah membuat kita berbudaya konsumtif, lantas siapakah yang untung dari semua ini, jawabanya jelas para pemodal!!

Antonio Gramsci seorang pemikir marxis dari Italia yang terkenal dengan teori hegemoninya, menyimpulkan bahwa budaya Barat sangat dominan terhadap budaya di negara-negara berkembang, sehingga negara berkembang terpaksa mengadopsi budaya Barat. Lebih jauh tentang budaya barat itu, kalau lebih merunut ke negara asalnya, kita bisa tercengang kalau ternyata selama ini kita tidak sadar telah disuguhi dengan hal-hal yang tidak berguna tetapi di negara berkembang seperti di Indonesia menjadi sebuah budaya yang “wah” dan kadang menandakan suatu status sosial tertentu. Satu contoh, di negara Amerika sana, budaya makan di restoran cepat saji seperti Mcdonal dan KFC, minum coca-cola dan menggunakan celana jeans merek Levis, lebih banyak dilakukan oleh kelompok pekerja dan pelajar, di mana status sosial seorang pekerja dan pelajar tidak lebih baik dari seorang pekerja pabrik. Tapi ketika budaya itu di “jual” di Indonesia dengan kemasan dan iklan yang menarik, maka budaya tersebut teleh memiliki makna baru yang kadang kala, dengan mengikuti budaya tersebut kita seoalah telah sama dengan warga Amerika. Kapitalisme dan globalisasi telah membuat negara dunia ketiga menjadi pasar yang potensial untuk menjual “budaya” yang di negara asalnya pun sebenarnya hanya sebuah budaya pinggiran. Lantas masih pantaskah kita membanggakan hal-hal yang sebenarnya hanya merupakan “sampah”, di sinilah pentingnya kekeritisan kita dalam memandang modrenisasi yang dalam hal ini direpresentasikan dalam sebuah mal…penjajahan fisik memang sudah lama hilang, tetapi penjajahan budaya masih terus berlangsung dengan berbagai kedok dan topeng, yang kehadiranya tidak pernah kita sadari.

Tidak ada komentar: