Jumat, 23 November 2007

Menggapai Singgasana Sang Dewi


Menulis pengalaman yang sudah terjadi beberapa tahun yang lalu, tentu akan mempunyai makna dan interpretasi yang berbeda jika dibandingkan dengan kita menulis di kala itu, hal itu tentu lahir dari sebuah dialektika yang terus bergerak lurus, sehingga tidak mengherankan jika suata saat ketika kita sedang duduk dengan kopi dan rokok, serta angan yang melambung ke masa silam, kita sering ketawa geli, mengingat apa yang dulu kita lakukan. Pengalaman yang ingin aku tulis saat ini adalah, pengalaman ketika aku melakukan pendakian ke gunung Argopura yang merupakan salah satu dari lima gunung yang aku daki di Jawa Timur. Pendakian lima gunung itu merupakan salah satu program kerja dari Mapala, organisasi tempat aku bergiat dulu, Walalupun tidak sehebat pendakian yang dilakukan oleh almarhum Norman Edwin dengan Tujuh Puncak benuanya, tapi setidaknya aku pernah merasakan menjadi orang yang yang dipercaya untuk mengemban sebuah tugas dan tanggung jawab.

Tanggal hari itu adalah 6 juni 2003, aku, Tempe, Patul, dan Bandot berangkat menuju Surabaya dengan menumpang kereta api ekonomi Sri Tanjung. Tempe, Patul dan Bandot adalah kawan aku di Mapala, bagi kami yang biasa bergiat di dunia pencinta alam, memang memiliki nama lapangan masing-masing, dan bahkan nama-nama itu kadang lebih akrab dari pada nama asli kami, nama-nama itu punya makna dan sejarah masing-masing, biasannya nama itu di dapat pada masa-masa pendidikan dasar yang merupakan syarat wajib untuk bisa menjadi anggota Mapala, Tempe misalnya, ia mendapatkan nama itu dikarenakan pada hari yang ke-6 ia ingin mengundurkan diri dari pendidikan karena ngga’ kuat, padahal pendidikan tinggal 2 hari lagi, sehingga oleh senior di kasi nama Tempe, sebuah symbol dari mental yang lemah (tempe), nama Patul merupakan singkatan dari Patah Tulang, di berikan oleh senior karena kawan aku yang satu ini mengalami patah tulang ketika mengikuti pendidikan, sedangkan Bandot, anak termuda di tim, di beri nama Bandot, karena selama pendidikan rambutnya mirip sekali dengan Bandot tua.

Kereta berangkat tepat pukul 07:05 WIB, penumpang sepi, sehingga kami leluasa untuk tidur-tiduran, becanda, main kartu dan tentu saja merokok dan ngopi. Pukul 14:00, kereta tiba di stasiun Wonokromo (Surabaya), dari stasiun Wonokromo kami melanjutkan perjalanan menggunakan bis kota menuju terminal Bungur, di Bungur, kami istirahat sejenak di samping mushola, dan belanja logistic yang masih kurang. Aku cukup akrab dengan terminal ini, dan aku punya kebiasaan yang acap kali aku lakukan jika telah tiba di terminal terbesar di Jawa Timur ini, yaitu makan nasi pecel, nasi pecel di terminal ini menurut aku sangatlah enak, disajikan dengan daun pisang yang tentunya akan sangat menggugah selera.

Pukul 15:00 kami naik bis jurusan Probolinggo, dan selanjutnya menuju Pajarakan, tepat pukul pukul 19:00 kami tiba di Pajarakan. Berhubung hari sudah malam, sedang base camp Argopura masih satu kali perjalanan lagi, terpaksa malam ini kami menginap di Pajarakan. Pilihan pertama untuk menginap adalah kantor polisi, ya..kantor polisi, tempat paling nyaman dan aman. Dengan sedikit basa-basi, kami minta diperbolehkan untuk menginap di situ, untungnya pak polisinya baik, kami di beri satu ruangan untuk menginap. Setelah makan malam, kami langsung tidur, karena besok kami harus bangun pagi-pagi untuk menuju Bermi base camp gunung Argopura yang masih harus ditempuh dengan menumpang colt.

Pagi menjelang, tanpa mandi dan sarapan, kami sudah bersiap untuk melanjutkan perjalanan, dan ternyata kami sudah di tunggu oleh colt, rupanya pak polisi yang baik itu sudah menyetop colt buat kami tumpangi. Dengan ucapan terima kasih, kami pamit, pak polisi yang baik itu hanya tersenyum dan berpesan supaya hati-hati, kami hanya tersenyum dan menggangguk.

Aroma Argopura sudah mulai terasa, udara dan kabut pagi menyambut kedatangan kami di Bermi, base camp Argopura. Selain jalur Bermi masih ada lagi jalur untuk mendaki Argopura, yaitu Besuki. Setelah melapor dan mengisi buku tamu di kantor polisi Bermi, kami bergerak menuju pos pendakian, saat berjalan itulah tiba-tiba datang seorang pemuda dengan jaket gunung dan ikat kepala, dia menyapa, kami pun bersalaman ala pencinta alam, kami bilang mau naik, ia meminta kami menunggu sebentar, tidak berselang lama, ia kembali dengan membawa kertas, ternyata ia memberi kami peta topofgrafi gunung Argopura, ach, baik sekali pemuda ini pikir kami, dengan mengucapkan terima kasih, dan jabat tangan yang erat kami pamit, dan kata “hati-hati” kembali kami dengar, kami tersenyum, kaki kami melangkah, melangkah menyusuri jalan berbatu, melewati rumah-rumah penduduk. Setengah jam jalan kaki, kami tiba di pos pendakian, pos pendakian ini berupa bangunan semi permanent, terbuat dari semen dan kayu, cukup nyaman untuk istirahat. Alat masak segera kami keluarkan, dan mulai menyiapkan sarapan dan kopi. Puas makan dan mengisi air, kami mulai melakukan pendakian. Tujuan kami adalah Taman Hidup, menurut data yang kami dapat, jarak tempuh dari pos pendakian ke Taman Hidup adalah 4 jam.

Medan ke Taman Hidup, cukup bervariasi, satu jam pertama jalan yang kami lalui cukup landai dengan pemandangan kebun kopi yang terhampar sepanjang mata memandang. Lewat dari kebun kopi, kami mulai memasuki hutan pinus, jalanya mulai sedikit menanjak namun masih terkesan landai, hutan di Argopura cukup lebat, masih terdapat pohon-pohon besar dan kicau burung masih sempat kami temui sepanjang jalan. Tidak terasa sudah 4 jam kami berjalan, tapi kok, ngga’ nyampe-nyampe ke Taman Hidup, di tengah hutan kami bertemu dengan penduduk yang baru saja pulang mancing dari Taman Hidup, kami bertanya, kira-kira Taman Hidup masih jauh ngga’ ya? Kata mereka dari tempat kami sekarang, Taman Hidup masih 2 jam lagi, ach..!! kami cuma senyum kecut, masih jauh dong…!!. Dengan tekad dan semangat tinggi kami melanjutkan perjalanan, kami mulai mengatur langkah dan nafas, kami ngga’ ingin ngebut, kami ngga’ mau cidera, empat gunung masih menunggu, Argopura harus lewat dulu. Akhirnya dengan semangat dan tenaga yang yang terkuras kami sampai juga di Taman Hidup.

Taman Hidup adalah lokasi camp yang mempunyai danau dan dermaga, cukup indah, keberadaannya lebih mirip cermin raksasa di tengah hutan, bayangan awan, pohon dan langit yang biru terpantul laksana lukisan yang dilukis oleh tangan sang maestro, tapi sayang, airnya keruh, sehingga kami harus menyaring terlebih dahulu sebelum menggunakanya buat masak, di danau nampak beberapa penduduk sedang memancing. Tenda kami dirikan, kami memutuskan bermalam di sini, kami bawa dua tenda, satu buat barang-barang, satunya buat tidur. Selesai masak, kami tidur.

Selasa 8 juni, kabut pagi menyelimuti danau, embun masih menempel di dedaunan dan udara pagi terasa menusuk sampai ke tulang, masih dengan muka kusut dan mata sembab kami mulai menyiapkan kopi dan sarapan, selesai sarapan dan packing, kami mulai meneruskan perjalanan menuju Aengkenik, medannya cukup landai, kami melewati daerah yang di beri nama hutan lumut, disebut demikian karena pohon-pohon di hutan ini sebagian besar di selimuti lumut, menandakan hutan ini cukup lebat sehingga sinar matahari sulit menembus ke dalam. Lewat dari hutan lumut, kami memasuki hutan kering, kami sebut hutan kering, karena daerah ini memang sangat kering, pohon-pohonnya merangas, dan tentu saja jalanya penuh dengan debu yang mengepul, medan di hutan kering cukup beragam, kadang menanjak kadang landai, lewat dari hutan kering, kondisi kami mulai ngedrop, rasa lapar mulai menggangu, akhirnya kami memutuskan untuk makan siang di perbatasan hutan kering dan hutan pinus. Selesai makan kondisi kami cukup prima, carier kami sandang, kaki kami ayun, dengan langkah yang mantap, hutan pinus mulai kami jelajahi, lewat dari hutan pinus, daerah dengan semak yang lebat mulai menanti, tinggi semak di daerah ini melebihi tingi badan kami, sehingga kadang kami tidak bisa melihat jalur di depan, di sinilah kami mulai merasa habis, jalanya panjang dan berkelok, kadang kami harus berjalan merangkak untuk melewati terowongan yang tercipta dari semak yang lebat. Menjelang sore kami tiba juga di Aengkenik. Di Aengkenik terdapat sungai kecil yang berair jernih, sebuah tempat yang sangat nyaman untuk bermalam.

Rabu 9 juni, setelah sarapan, kaki yang sudah mulai berat akibat dari perjalanan kemarin perlahan namun pasti kami ayun, kami melangkah, melangkah menuju tempat selanjutnya, yaitu Cisentor. Jalan yang kami lalui cukup landai dengan panorama padang ilalang (savanna) dengan kombinasi pohon hutan yang rindang, perjalanan kali ini terasa lain, hal ini dikarenakan, sepanjang jalan, monyet-monyet dengan suara yang berisik terus mengikuti jalan kami. Kami sedikit kesal dengan data yang kami dapat, ternyata jarak dari Aengkenik dengan Cisentor cukup dekat hanya butuh waktu satu jam. Tau kayak gini mending kemarin kami langsung aja ke Cisentor. Cisentor merupakan daerah tempat ngecamp dengan sungai yang sangat jernih, Cisentor juga merupakan daerah pertemuan dua jalur pendakian yaitu dari arah Bermi dan Besuki, di sini kami bertemu dengan tiga orang pendaki dari Solo, dari mereka kami mendapat informasi terbaru mengenai jalur menuju puncak. Jarak tempuh dari Cisentor ke puncak kurang lebih 3 jam. Kami memutuskan untuk muncak hari itu juga. Carier semua kami tinggal dengan cara disembunyikan di balik semak-semak. Dengan membawa daypack masing-masing tepat jam 09:55 kami mulai menyusuri jalan setapak menuju puncak. Jalur dari Cisentor ke puncak cukup landai dengan panorama padang ilalang dan tumbuhan perdu. Sepanjang perjalanan kami banyak menemukan burung yang kicaunya tidak pernah berhenti menghibur kami yang sedang berusaha menggapai puncak. Pukul 12:32 kami sampai juga di puncak, puncak pertama yang kami tuju adalah puncak Rengganis yang merupakan puncak tertinggi di gunung Argopura, selain puncak Rengganis masih terdapat satu puncak lagi yaitu puncak Argopura. Puncak Rengganis hanya berupa puing-puing dari bangunan kuno yang menurut legenda adalah istana sang dewi Rengganis. Dewi Rengganis sendiri menurut legenda, merupakan selir dari Prabu Brawijaya IV yang mengasingkan diri ke hutan, bersama para pengikut setianya. Kami punya kebiasaan yang selalu kami lakukan saat menggapai setiap puncak gunung, yaitu minum Coca Cola dan menghisap rokok Marlboro, “perayaan puncak” begitu kami biasa menyebut ritual itu, sebenarnya ritual itu akan terasa nikmat jika dilakukan saat menatap sunrise, tapi sayang, kali ini kami muncak tengah hari. Setelah berpoto dengan bendera merah putih dan panji Mapala, kami turun ke pelawangan untuk selanjutnya menuju puncak Argopura. Hanya butuh waktu kurang dari satu jam untuk sampai ke puncak Argopura, di puncak Argopura hanya terdapat batu yang di susun, yang menandadakan itu puncak. Pohon dan semak masih terdapat di puncak ini. Di puncak Argopura, Patul, punya hajatan kecil, yaitu memotong rambutnya yang gondrong, kami bertiga bergiliran memotong rambut Patul yang baunya minta ampun itu, dan hasilnya dapat ditebak, rambut Patul berantakan, kami mencukur dengan asal.

Tepat pukul 13:45 kami turun ke Cisentor, di Cisentor kami makan siang sebentar untuk seterusnya melanjutkan perjalanan menuju Aengkenik, sampai di Aengkenik hari masih siang, kami memutuskan untuk langsung turun ke Taman Hidup, kali ini kami jalan dengan sedikit berlari, kami berharap dapat sampai di Taman Hidup tepat sebelum hari menjelang malam, tapi sayang, baru masuk ke daerah semak yang lebat, malam sudah menguntit, tidak mau bermalam di semak, senter kami keluarkan, dengan di pandu cahaya senter, kami mulai berjalan, fisik yang sudah ngedrop memaksa kami untuk cepat-cepat bermalam, tepat di tengah hutan pinus, akhirnya tenda kami dirikan. Kami ternyata terlalu bernafsu untuk sampai ke Taman Hidup, balasanya adalah Bandot kena demam, aku menduga Bandot terlalu capek, untung paginya Bandot sudah baikan lagi.

Kamis 10 juni, pukul 08:00 kami mulai turun ke Taman Hidup, ada yang membuat kami khawatir dalam perjalanan ke Taman Hidup ini, yaitu persedian air kami tinggal satu botol aqua tanggung, di perjalanan nanti kami tentu akan banyak minum, kalau tidak ingin dehidrasi. Niat sudah bulat, tekad telah satu, kita turun!. Dan benar baru berapa menit berjalan, air di botol sudah separuh, apalagi pas melewati hutan kering yang panas dan berdebu, akhirnya aku mulai mengatur jatah air bagi siapa saja yang mau minum. Kami berjalan, dengan kerongkongan yang mencekik, sampai mata kami berbinar, danau taman hidup sudah terlihat, air yang tinggal separuh langsung kami habiskan berempat, dengan senyum yang lebar kami berempat mulai jalan dengan setengah berlari, disinilah petaka datang, danau yang nampak didepan mata, ternyata masih sangat jauh, tenggorokan kami mulai kering lagi, kami lemas, sialan batin kami!!. Semakin dekat danau, semakin kering dan lemas badan ini, kira-kira 50 meter menjelang danau, tanpa ada yang memberikan aba-aba, kami berempat berlomba menuju danau, carier kami lepas, kaki kami seret, lomba lari 50 meter segera di mulai, tanpa menyaring terlebih dahulu, mulut kami berempat langung minum dari danau.ach…seger!!..puas!!!….saat itu waktu menunjukan angka 11:00.

Pukul 13:50 kami mulai turun ke base camp, jalan kami lalui dengan banyak bercanda dan tertawa, tanpa kami sadari kami sudah tiba di tepi hutan, saat itulah kami mulai bingung, kayaknya ini bukan jalan yang kami lalui 3 hari yang lalu, kami mulai berunding dan menerka-nerka, kami salah jalan, aku baru ingat, tadi, kami sempat menemukan persimpangan, dan kami memilih jalan yang sebelah kiri, saat itulah aku teringat pada peta yang diberikan oleh pemuda yang menggunakan jaket gunung dan ikat kepala itu, ya pemuda itu. Kompas, protector dan peta aku keluarkan, dan mulai menentukan arah mata angin, arah mata angin ketemu, saatnya melakuan ploting, di sini lah mulai muncul kendala, kabut mulai turun, sehingga jarak pandang mulai terhalang, aku tidak dapat melakukan orientasi, kalau sudah seperti ini, maka langkah selanjutnya dalam ilmu navigasi adalah menggunakan metode konturing, suatu metode menentukan posisi dalam peta dengan memperhatikan dan melihat kontur yang terdapat di peta dengan panduan tanda medan yang ada sudah dikenal terlebih dahulu. Seandainya ada GPS, kayaknya aktivitas orientasi, ploting, dan konturing tidak perlu kami lakukan, sayang, saat itu kami belum punya GPS. Dengan sedikit ragu, aku putuskan untuk berjalan menuju kearah barat, dengan harapan jalur utama segera ketemu, setidaknya ada 3 punggungan yang kami lalui sebelum akhirnya ketemu dengan jalur utama, semua lega. Bayang wajah pemuda dengan jaket dan ikat kepala itu terus melintas di benak kami, kalau bertemu ingin sekali kami mengucapkan terima kasih yang amat sangat padanya. Akhirnya kami sampai juga di Bermi. Setelah selesai melapor, kami mulai mencari warung terdekat, kami ingin makan enak sore ini, pilihanya adalah gule kambing dan sate. Nikmatnya bukan kepalang. Sebuah perayaan yang sempurna untuk sebuah petualangan selama 4 hari di hutan dewi Rengganis.

Argopura…kami merindukan aroma pohon dan kabut dinginmu. Suatu saat, kami akan menjengukmu dewi, semoga!

Tidak ada komentar: