Minggu, 11 November 2007

Pencinta Alam dan Pendaki Gunung


Tingginya Gunung

Gelapnya Goa

Lebatnya Hutan

Terjalnya Tebing

Derasnya Arus Sungai

Kami Datang Bukan Cari Mati

Tapi Jati Diri


Seorang kawan dalam email yang dikirim ke aku, bercerita atau lebih tepatnya bertanya, kenapa sech, tiap kali diajak naik gunung, aku tidak bisa nolak, padahal, naik gunung itu kan capek, bawa beban berat,kena hujan,makan seadanya dan berbagai rasa yang ngga’ enak ketika naik gunung, aku cuma nyengir, abis aku ngga’ bisa ngejawab. Susah ngejelasainya, dan pertanyaan seperti itu hanya bisa diajukan oleh orang yang sudah kena “sihir” gunung. Aku juga sering merasa bila panggilan naik gunung sudah datang, sulit rasanya untuk menolak dan mengabaikan panggilan ini, biasanya aku akan cepat-cepat berkemas, beli logistic, packing dan mulai mendaki, kadang kalau ngga’ ada teman, pendakian sering aku lakukan sendiri. Namun, pertanyaan kawan aku itu, masih saja menggangu lamunanku, aku ingin membalas email itu dengan mengatakan bahwa naik gunung itu seperti ini,itu dan begini, tapi rasanya aku tidak akan puas dengan jawaban aku sendiri, karena tentu saja pengalaman naik gunung adalah pengalaman yang subyektik, masing-masing pendaki punya kesan dan pengalaman masing-masing. Tapi untuk tidak ingin dikatakan diam, biarlah aku mencoba menjawab pertanyaan itu dengan apa yang pernah aku baca, aku lakukan dan aku rasakan. Ini mungkin hanya sebuah renungan bagi siapa saja yang mengaku dirinya Pendaki dan Pencinta Alam…ach..berat banget se..he..he..

Ada baiknya kita mulai dari pertanyaan awal dan mendasar, sejak kapan orang naik gunung, dan untuk apa orang naik gunung? Dalam hal ini aku ngga’ mau menjawab dengan jawabanya George Leigh Mallory, seorang pendaki legendaris, ketika ditanya kenapa sering sekali naik gunung, ia biasa menjawab dengan kalimat ’Because it’s there’, jawaban yang asal, batinku, tapi sejujurnya dulu aku sering mengutip kalimat itu tiap kali ditanya oleh orang, ketika aku sudah mulai bawa carier,,

Mengutip tulisannya bang Oktaf, seorang anggota Korpala UNHAS, seorang antropolog yang bernama Gilbert Murray bercerita, dulu, di zaman Yunani kuno, orang Yunani selalu saja terpukau oleh suatu tempat yang tinggi di daerah tempat tinggal mereka, tempat itu bernama Gunung Olympus tempat tinggalnya Dewa Zeus, yang dalam pandangan mereka tak ada lagi yang lebih tinggi daripadanya. Berawal dari rasa penasaran itulah, orang Yunani mulai mencoba mendaki Gunung Olympus, mereka berusaha menguak rahasia ada apa dia atas sana? Kemudian muncullah proses selanjutnya yang oleh Murray disebut sebagai ”Penakluk Olympia” Istilah ini tidak menunjuk pada suatu pendakian fisik semata yang bertujuan menaklukan Gunung Oympus, namun lebih dari pada itu, pendakian itu merupakan pendakian spritual untuk menaklukan diri sendiri dan proses pertempuran untuk mengatasi rasa takut. Bagi mereka yang berhasil mencapai puncak, oleh Dewa Zeus diberikan pengetahuan transendental. Pendakian yang meletihkan fisik dan mental itu, tidak berakhir dengan sia-sia. Kalau boleh menyimpulkan, sebenarnya ada misi suci yang ingin diraih oleh manusia ketika pertama kali naik gunung, mereka ternyata mendaki untuk menaklukkan diri sendiri dan juga untuk mengetahui ada kebenaran apa di atas sana, mereka mendaki untuk kelanggengan moralitas, sekaligus mempertanyakan peradaban kepada Sang Maha Tinggi.

Kita lupakan dulu model pendakian yang dilakukan oleh orang Yunani kuno itu, marilah kita tengok, fenomena dan tingkah laku para pendaki dan pencinta alam saat ini, kita mulai dari kelompok anak muda yang sering naik gunung, menurut yang aku lihat dan perhatikan selama ini, para pendaki bisa dikelompokan dalam tiga kelompok atau tiga kategori, yang pertama adalah ”pendaki pemula”, kedua, ”pendaki beneran”, dan yang ketiga adalah ”bener-bener pendaki”

”pendaki pemula”

Kelompok ini biasanya terdiri dari anak-anak muda yang baru pertama kali naik gunung, dan kalau pun suka naik gunung, jam terbangnya belum seberapa, mereka ini biasanya naik gunung untuk senang-senang dan sekedar melepas penat akan rutinitas yang selama ini mereka jalani, dan biasanya pula mereka mendaki secara berkelompok. Tidak begitu susah menandai kelompok ini, hal ini dapat dililhat dari, tingkah laku, penampilan, perlengkapan dan tekhik mendakinya. Kelompok ini sering kali kelihatan bergerombol, dan penampilan mereka pun kadang-kadang nyentrik, kawan aku seorang pendaki senior, sering kasi komentar tentang penampilan kelompok ini, kawan yang satu ini sering bilang ”wah anak mall, gi main ke gunung” he..he..kawan yang satu ini memang agak sedikit sinis, padahal, berawal dari sinilah generasi-generasi pendaki tangguh tercipta, trus dari perlengkapan, mereka biasanya membawa perlengkapan seadanya, bahkan kadang-kadang aku sering menemukan kelompok ini hanya bawa dua carier, padahal mereka mendaki berlima. Aku menduga, perlengkapan standar seperti tenda, sleeping bag, raincoat, kompor dan alat masak sering dibawa seadanya saja. dari segi teknik, mereka biasanya mendaki tanpa perhitungan, asal jalan, asal hajar, dan biasanya pula tenaga mereka habis sebelum mencapai puncak, kalau pun sampai puncak, pas turunya biasanya mereka lebih sering merangkak, kalau ngga’ jalanya tertatih-tatih, keberhasilan mencapai puncak biasanya di ekpresikan dengan sangat ekpresif, kita tidak usah heran, kalau di puncak kita sering menemukan orang yang mencium tugu puncak dengan khidmat, bahkan aku pernah menemukan seorang pendaki yang membawa keliling tugu puncak ketika dah nyampai puncak, yang lebih mencolok yang dapat dilihat dari kelompok ini adalah sikap mereka yang kadang seanaknya, buang sampah sembarangan, mengores pohon dengan pisau, bahkan yang lebih miris lagi, pohon, tugu puncak sering mereka corat-coret dengan menulis nama atau kelompok mereka. Sikap vandalisme memang sering kita temukan pada kelompok pendaki ini. Sangat disayangkan memang. namun sejatinya itu adalah hal yang wajar, mendaki itu sendiri merupakan simulasi hidup itu sendiri, ketika mulai mendaki kita punya target yang harus kita raih, yaitu puncak, nah, saat meraih puncak inilah, tantangan dan kerja keras diperlukan, jalan terjal,jurang, hutan yang lebat, cuaca yang cepat sekali berubah, angin, badai, dan kadang-kadang hujan. Sehingga sangatlah wajar ketika sampai di puncak kita sering mengekpresikanya dengan cara masing-masing.

”Pendaki beneran

Kelompok ini dapat dengan mudah dikenali dari penampilan dan perpfomance mereka, biasanya kelompok ini berasal dari kelompok pencinta alam dari kalangan mahasiswa yang lazim di sebut Mapala, namun di luar mahasiswa pun, banyak juga kelompok-kelompok pencinta alam yang masuk dalam kategori ini, mereka biasanya adalah orang-orang yang sudah akrab dengan gunung dan mengganggap gunung sebagai tempat bermain, namun tidak semua Mapala dan kelompok pencinta alam bisa masuk dalam kategori ini, banyak juga Mapala dan kelompok pencinta alam yang masih masuk dalam kategori pertama. Kelompok ini, kalau mendaki gunung selalu dengan perlengkapan dan perhitungan yang matang, makanya tidak heran, kelompok ini sering membawa carier yang besar dan tinggi, serta cara packing yang sempurna, sehingga ketika melihat pendaki seperti ini, kesan gagah dan tangguh bisa langsung terbersit dibenak orang yang melihatnya, walaupun kadang dalam kenyataanya tidak selalu demikian, banyak diantara mereka cuma menang perfomance doang, pas di lapangan tidak jarang keok juga. Namun ada satu hal yang membedakan mereka dari kelompok pertama, mereka mempunyai pengetahuan yang cukup tentang ilmu mendaki gunung, hal ini biasa mereka dapatkan dari materi pendidikan yang didapatkan saat masuk menjadi anggota atau dari pengalaman-pengalaman yang didapat dari seringya mendaki gunung, dari segi sikap kelompok ini lebih ”mending” dari kelompok pertama, adanya kesadaran akan kelestarian sudah mulai tertanam, sehingga anjuran seperti” bawa sampahmu turun” sering mereka lakukan.

”bener-bener pendaki”

Kelompok yang terakhir ini, dari segi sikap, penampilan dan pengetahuan gunung lebih dekat dengan kelompok kedua, yang membedakanya adalah, kelompok ini lebih seing memaknai ”apa dan untuk apa mendaki gunung”, mereka mendaki untuk pencarian makna, mencari hakikat menjadi manusia, mencari jawaban-jawaban atas keresahan jiwa, dan yang lebih dalam lagi, kelompok ini mendaki biasanya untuk bisa bekomunikasi dengan Tuhan dan ciptaanNya, puncak bukanlah merupakan semata-semata ”puncak” namun lebih dari pada itu, puncak di maknai sebagai titik tertinggi untuk menggapai makna. Mereka inilah pendaki dan pencinta alam yang berusaha mencari kebeneran.Tidak semua pendaki bisa masuk dalam kategori ini, hanya pendaki-pendaki yang tidak berhenti bertanya dan berkontemplasi dengan apa yang dilihat,didengar dan dirasakan yang bisa masuk dalam kategori ini, oleh karena itu, kita tidak perlu heran dari segi kuantitas jumlah mereka tidaklah terlalu banyak dan parahnya lagi kita susah sekali menandai orang atau kelompok seperti ini, karena dari penampilan, kadang mereka tidak nampak sebagai seorang pendaki, yang lebih berkesan gagah dan tangguh.

Namun, diantara tiga kategori pendaki yang sudah aku sebut diatas, ada benang merah yang dapat diambil dan ini pasti dan pernah dirasakan oleh semua orang yang pernah mendaki gunung, bahwasanya mendaki gunung sejatinya adalah simulasi hidup itu sendiri, ketika mulai mendaki kita punya target yang harus kita raih, yaitu puncak, nah, saat meraih puncak inilah, tantangan dan kerja keras diperlukan, jalan terjal, jurang, hutan yang lebat, cuaca yang cepat sekali berubah, angin, badai, dan kadang-kadang hujan. Sehingga sangatlah wajar ketika sampai di puncak kita sering mengekpresikanya dengan cara masing-masing. Kerja keras selama pendakian ditebus dengan puncak, ”aku puas, ”aku bisa” ”aku berhasil” kita merasa menjadi manusia seutuhnya, jati diri dan ”siapa aku ?” akan tersingkap dan siapapun orangnya pasti tidak akan melupakan momen-momen seperti itu, sehingga ketika ada ajakan untuk naik gunung lagi, rasanya sulit untuk menolak ajakan itu. Setiap gunung punya tantangan dan nuansa sendiri, dan itu yang selalu yang membuat kita penasaran untuk mendaki.

Sekarang marilah kita kembali ke model pendakian yang dilakukan oleh orang Yunani kuno itu, kira-kira masih ada ngga’ ya..model pendakian seperti itu, aku kira kita semua tau jawabanya, model pendakian seperti lebih dekat dengan kelompok ketiga, pendakian yang lebih mencari makna dan kebenaran, dan rasanya , seperti yang sudah aku utarakan, jumlah pendaki seperti ini sangat sedikit, lebih-lebih di saat sekarang ini. Dan biasanya kalau sudah bicara model pendakian seperti ini, aku teringat akan satu nama, Soe Hok Gie, ya..dialah sosok yang paling dekat dengan model pendakian ala Yunani kuno itu...Aku kira!

Tidak ada komentar: