Jumat, 23 November 2007

Kenapa Orang Lombok Jadi Maling?


Populasi orang Lombok di Bali memang tergolong banyak, walaupun tidak ada angka pasti yang menyebutkan berapa banyak orang Lombok yang tinggal dan bekerja di Bali, namun dapat disaksikan keberadaan orang Lombok di Bali memang tidak sedikit. Mereka tersebar di beberapa daerah yang merupakan kantong ekonomi di Bali, mulai dari Gianyar, Denpasar dan Badung, kebanyakan dari mereka bekerja di sector informal, seperti pedagang kaki lima, penjual makanan dan minuman, dan juga buruh proyek, yang disebut terakhir merupakan bidang pekerjaan yang paling banyak dilakoni oleh orang Lombok. Di samping jenis pekerjaan yang telah disebut tadi, tidak sedikit dari orang Lombok di Bali yang memilih jenis pekerjaan “beda”, mereka banyak terlibat dalam underground economy (kriminalitas, pelacuran, narkoba, perjudian), hal ini dapat dilihat dari maraknya tindakan kriminalitas yang dilakukan oleh orang Lombok, yang mana hal itu selalu mendapat liputan khusus dari media local di Bali baik elektronik maupun cetak, dan khusunya harian Denpost, atas dasar itulah harian Denpost merasa perlu untuk melakukan investigasi terhadap perilaku dan budaya orang Lombok, khususnya yang terlibat tindak kriminalitas, yang bahkan pada bulan January lalu memuat secara berseri tulisan mengenai sepak terjang penjahat asal Lombok, tulisan itu terdiri dari empat seri yang dimuat dari tanggal 10/1/07 s/d 14/1/07. Isi tulisan itu antara lain mengungkap berbagai informasi tentang sepak terjang penjahat asal Lombok, baik dari sisi kehidupan pribadi sehari-hari, latar belakang keluarga, modus operasi, jaringan komplotan serta pandangan orang Lombok itu sendiri terhadap prilaku “maling”. Dalam banyak hal, tulisan itu menyisakan beberapa pertanyaan mendasar dan penting, benarkah prilaku “maling” merupakan budaya bagi sebagian masyarakat desa di Lombok ataukah hanya merupakan ujung dan akibat dari banyaknya pengangguran dan kemiskinan di Lombok?, kalau perilaku “maling” memang budaya bagi orang Lombok, lantas dimanakah peran agama di Lombok dalam membentuk nilai moral pemeluknya?, yang mana telah diketahui bersama bahwasanya Lombok terkenal dengan nuansa religiusnya, yang konon bahkan mendapat sebutan pulau seribu masjid, atau jangan-jangan selama ini orientasi keberagamaan kita sebagai orang Lombok yang “salah” dan perlu diubah?

Penganguran, Kemiskinan dan Kriminalitas; Sebuah Mata Rantai
Oscar Lewis, seorang antropolog asal Amerika, memaknai kemiskinan sebagai ketidaksanggupan seseorang atau kelompok orang untuk dapat memenuhi dan memuaskan keperluan-keperluan dasar materialnya. Pendeknya menurut Lewis, kemiskinan adalah ketidakcukupan seseorang untuk bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokoknya, seperti sandang, pangan, dan papan untuk kelangsungan hidup dan meningkatknya posisi social-ekonominya. Sumber-sumber daya material yang dimiliki atau dikuasainya betul-betul sangat terbatas, sekedar mampu digunakan untuk mempertahankan kehidupan fisiknya, sehingga sangat sulit untuk meningkatkan kesejahteraanya.

Seperti halnya banyak daerah di Indonesia, Lombok termasuk daerah yang sebagian besar penduduknya masih ber kategori miskin, wajah kemiskinan dapat dilihat dimana-mana, bahkan yang paling heboh adalah ditemukanya kasus busung lapar di Lombok pada tahun 2004 lalu. Profesi sebagian besar masyarakatnya adalah petani, dimana dari tahun ke tahun tingkat kesejahteraan petani di Lombok jarang sekali meningkat. Hal ini dapat dimaklumi karena sebagian besar petani di Lombok adalah petani penggarap, kesejahteraan sebagai petani hanya dapat dinikmati oleh pemilik lahan dan tuan tanah. Tidak memadainya jumlah lapangan kerja dengan jumlah pencari kerja serta diperparah dengan rendahnya pertumbuhan ekonomi di Lombok, telah membuat angka pengangguran dari hari ke hari semakin meningkat baik itu pengangguran terbuka maupun pengangguran terselubung dan hasilnya adalah kemiskinan di Lombok semakin tidak terkendali. Rendahnya kualitas SDM serta sempitnya lapangan keja telah memaksa orang Lombok untuk tetap survive dengan berbagai cara dan profesi, mulai dari menjadi TKI, buruh kasar, sampai dengan menjadi “maling”. Prilaku “maling” telah menjadi cerita sendiri pada kehidupan sehari-hari orang Lombok, saya sendiri sewaktu kecil pernah menyaksikan bagaimana seorang maling dihakimi sampai tewas oleh penduduk desa karena kedapatan mencuri hewan ternak. Prilaku “maling” banyak ditemui di masyarakat Lombok terutama yang mendiami daerah-daerah kering dan kurang produktif. Cerita tentang adanya kampong maling (walaupun tidak semua penduduknya menjadi maling) di Lombok memang bukanlah isapan jempol belaka. Keberadaan pamswakarsa beberapa tahun terakhir ini, cukup efektif untuk mempersempit ruang gerak para maling yang dari hari ke hari aksinya sudah mulai meresahkan, namun hal itu tidaklah membuat serta merta para maling menyerah, tidak bisa beraksi di Lombok, para maling kini mengalihkan daerah operasinya ke pulau Bali, yang secara geografis tidak terlalu jauh dari pulau Lombok.

Pengangguran, kemiskinan dan kriminalitas merupakan mata rantai lingkaran setan yang sulit untuk diputus. Pengangguran dan kemiskinan merupakan dua sejoli sehidup semati. Kemiskinan adalah anak kandung yang dilahirkannya. Ketimpangan dan kecemburuan social adalah dampak yang ditimbulkannya. Jika persentasi jumlah angkatan kerja yang menganggur terus membubung tinggi, dapat dipastikan pertumbuhan ekonominya akan berjalan lamban, bahkan dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi. Akibatnya tindakan kriminalitas sangat mudah terjadi. Kemiskinan itu sendiri kian disadari akibat dampak semakin meningkatnya angka pengangguran. Memang, antara kriminalitas, kemiskinan dan pengangguran sangat terkait erat tak dapat dipisahkan.

Untuk menekan angka kriminalitas, maka solusi paling ampuh adalah bagaimana mengentaskan rakyat miskin dan menekan angka pengangguran semaksimal mungkin. Selama pengangguran dan kemiskinan tak dapat ditekan, maka kriminalitas akan sulit dapat dihapuskan.

Agama dan Perubahan Sosial

Identitas masyarakat “agamis” yang melekat pada masyarakat Lombok, ternyata tidak selalu mendapatkan pengabsahannya. Ini bisa kita lihat dalam ruang lingkup kehidupan social orang Lombok sendiri. Ada kesenjangan yang menganga antara doktrin keagamaan yang ideal dan faktor empirik yang dapat disaksikan di lapangan. Umumnya, agama yang hadir di muka bumi selalu hadir dengan mengusung seperangkat ajaran yang selalu berkonotasi pada nilai-nilai kebajikan. Karena itu, prilaku yang mengarah kepada tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai kebaikan akan selalu dianggap hal yang kontradiksi dengan nilai-nilai agama itu sendiri. Dalam hal ini adalah adanya prilaku “maling” itu sendiri sangat bertentangan dengan ajaran agama yang mereka peluk.

Kata kunci kritik para pemikir ateisme seperti Feurbach, Freud dan Nietsche terhadap agama adalah alienasi. Kritik para pemikir tersebut, pada umumnya menyebutkan bahwa kebertuhanan (baca;agama) telah mengasingkan manusia dari kemanusianya. Lebih jauh dijelaskan bahwa agama hanya dipandang sebagai sebuah ritual dan symbol belaka. Selama ini, elit keagamaan hanya sibuk dengan persoala ritual-transendental demi mencapai surganya Tuhan. Sehingga persoalan-persoalan social yang ada di masyarakat seperti pengangguran, marginalisasi dan kemiskinan terkadang luput dari perhatian.

Mestinya, pengangguran, marginalisasi dan kemiskinan dijadikan prioritas bagi elit keagamaan untuk melakukan perubahan dengan semangat iman dalam bentuk amal. Hal ini sesuai dengan anjuran Tuhan untuk selalu berlomba-lomba dalam kebaikan. Sejatinya, keshalehan ini diwujudkan dalam inteaksi dan system social dalam kehidupan sehari-hari. Peran elit keagamaan harus mampu membawa semangat agama untuk melakukan perubahan social yang nyata dan berarti. Dan sudah selayaknya peran masjid tidak hanya dimaknai sebagai tempat ibadah semata, namun keberadaan masjid haruslah mampu menjadi pusat peradaban dan kesejahteraan masyarakat. Menurut catatan statistic, desa di Indonesia berjumlah 800.000-an, sedangkan jumlah kemiskinan di Indonesia mencapai 80 juta jiwa (Jawa Pos.2/2/07), kalau masjid mau diberdayakan untuk program pengentasan kemiskinan, setiap masjid akan kebagian seribu orang miskin. Sebuah potensi besar yang jarang terpikirkan, demikian halnya dengan keberadaan masjid di pulau Lombok yang disetiap desa dapat dipastikan mempunyai satu buah masjid besar yang bahkan sejak dahulu pulau Lombok telah terkenal dengan sebutan pulau seribu masjid.

Jika agama tidak mampu menjadi sumber perubahan, maka agama hanya akan menjadi sesuatu yang formal tanpa memiliki makna yang signifikan dalam kehidupan manusia, bahkan lebih tragis, secara lambut laut agama akan ditinggalkan oleh penganutnya.

Dan sebagai pentutup, tentunya ini akan menjadi pekerjaan rumah bagi para calon Gubernur (cagub) dan calon wakil gubernur (cawagub) yang akan bertarung di Pilkada NTB tahun 2008 nanti. Para cagub dan cawagub hendaknya dan harus bisa melihat persoalan kemiskinan yang ada di Lombok (NTB) dengan lebih serius, program pengentasan kemiskinan nantinya tidak sekedar basa-basi, namun lebih kepada tindakan yang nyata dan konkrit. Adanya pemikiran yang progresif dari cagub dan cawagub dalam melihat dan melakukan perubahan orientasi terhadap pemahaman keberagamaan masyarakat Lombok (NTB) yang tidak hanya melulu mementingkan ritual-transedental dengan Tuhan, namun bagaimana melihat agama sebagai sebuah solusi untuk melakukan perubahan social tentu sangat diharapkan. Sehingga dimasa yang akan dating nanti berita-berita dan foto-foto orang Lombok yang termuat dalam Koran criminal tidak lagi terdengar dan terpampang. Semoga!

1 komentar:

Anonim mengatakan...

gimana kalo sektor pariwisata di Lombok diperkuat? lagi pas nih momennya... tahun 2008 kayaknya dunia pariwisata indonesia mau meledak, mengingat iklannya udah di mana2... Ngikut2 Malaysia...

Nb. Tulisan lo tipikal anak fisip banget sih,,